Artikel ini ditulis oleh Pengamat Kebijakan Publik , Aktivis Pergerakan 77-78, Sekjen FKP2B, Syafril Sjofyan.
Gelagat pelemahan lembaga anti rasuah sudah tercium sejak rencana revisi UU KPK disahkan DPR pada 17 September 2019, beberapa kewenangan KPK dipangkas. Kemudian adanya Dewan Pengawas dan alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Gelombang protes aksi unjuk rasa menolak UU KPK 19/2019 terutama mahasiswa melanda berbagai kota besar tanggal 24-26 September 2019. Lima orang tewas, ratusan aktivis dan mahasiswa menjadi korban kekerasan dan mencapai ribuan ditangkap.
Bahwa sekarang sangat birokratisnya sistim kepegawaian KPK setelah adanya perubahan UU KPK. Terutama dengan banyaknya institusi menjadi atasan ASN KPK.
Sistemnya diubah melalui revisi UU KPK dan menyandingkan dengan secara kembaran dengan UU ASN. Komisioner KPK tidak lagi punya taring dan punya kewenangan penuh terhadap ASN KPK.
Untuk menentukan tentang status hijau, kuning dan merah ASN KPK, Komisioner KPK harus dan wajib mengikut sertakan Kementerian PAN, BKN, KASN, LAN dan bahkan Menkumham. Padahal Komisioner KPK maupun Komisioner Dewan Pengawas KPK direkrut dengan prosedur independen.
Mereka dipilih melalui pansel bentukan Presiden yang diajukan ke DPR RI oleh Presiden. Sistem telah menciptakan para pegawai lembaga anti rasuah tidak lagi independen, kepatuhan tunggal sebagai ASN yang berada dibawah kendali UU ASN.
Ibarat Drakor dengan akhir dramatis. KPK setelah berjaya selama 20 tahun berakhir secara dramatis. Hidup segan matipun tak mau.
Penulis sepakat dengan Anthony Budiawan. KPK kini tidak sesuai serta bertentangan dengan jiwa dan perintah TAP MPR No XI/1998. Roh KPK telah dicabut.
Dengan status ASN KPK sebaga lembaga anti rasuah tidak beda dengan ASN di Departemen dan Kedinasan lainnya. Mereka harus patuh dan loyal terhadap atasan walaupun bertentangan dengan hati nurani rakyat.
Resiko sangat gampang dipecat. Secara efektif telah ditunjukan dengan pemecatan massal 51 pegawai secara langsung, 24 secara pelan. Sistim ini akan selalu menghantui 1271 ASN KPK yang lolos TWK. Konon mereka juga “diancam” tidak akan dilantik menjadi ASN jika membangkang tidak menghadiri pelantikan ASN 1 Juni 2021 secara daring dan diabsen. Pelantikan juga dikesankan “seram” dengan pengawalan pasukan polisi dan tentara.
Artinya kehidupan ASN KPK dari awal sudah penuh dengan ancaman dari instansi mereka sendiri dan instansi lainnya seperti Menpan, KBN, KASN dan LAN. Padahal selama ini mereka selalu dapat ancaman dari pihak luar. Bahkan pernah tindakan kekerasan yang dialami Novel Baswedan dan beberapa petinggi KPK lainnya, termasuk keluarga mereka terancam oleh para koruptor, petinggi partai, elit kekuasaan yang berkaitan dengan korupsi. Kini ancaman nyata menghantui adalah status mereka sendiri sebagai ASN.
Mengenai pemecatan hanya dengan secarik Test Wawasan Kebangsaan/TWK yang oleh berbagai pihak termasuk tokoh nasional Rizal Ramli dianggap sebagai tes abal-abal, tujuan utamanya adalah kepentingan tersembunyi. Tanpa kesalahan kinerja, etik, dan tindak pidana. Mereka secara masal bisa langsung dipecat. Terlalu. Sangat mudah.
Sebenarnya sadis. Karena mereka sudah berjasa menunjukkan prestasi dan rekam jejak yang sangat baik, berikut mempertaruhkan nyawa mereka sendiri selama hampir 20 tahun perjalanan KPK.
Bahwa di antara mereka adalah yang terbaik dari Kepolisian lulusan Akpol. Tentu melalui seleksi ketat untuk masuk Akpol sampai menjadi perwira. Adalah sangat tidak masuk akal jika tidak lolos melalui tes wawasan kebangsaan dengan pertanyaan juga sangat aneh dan nyeleneh. Jika memang mereka tidak lolos wawasan kebangsaan. Betapa keroposnya instansi kepolisian, yang mendidik mereka selama ini.
Namun karena alasan “kepentingan untuk menyetop” berbagai kasus besar korupsi yang sedang mereka tangani agar terhenti pengusutan yang lebih luas dan lebih mendalam, mereka-mereka tersebut dikorbankan. Sejatinya bukan mereka saja yang dikorbankan akan tetapi bangsa Indonesia secara keseluruhan telah dikorbankan dengan sistim UU melemahkan KPK, serta orang yang berjibaku untuk memberantas korupsi pun dihabisi.
Beberapa gelintir pengamat menyatakan bahwa KPK tidak tergantung terhadap 75 orang, mereka lupa bahwa dalam suatu peperangan, penulis menyatakan bahwa memberantas korupsi adalah peperangan karena demikian berkuasa dan canggihnya para koruptor. Lazimnya perang dibutuhkan komando dan person berkualitas dan terpilih serta punya nyali. Itu sebabnya adanya beberapa pasukan khusus dari ratusan ribu TNI.
Sebanyak seribu lebih pegawai KPK dalam sebuah lembaga organisasi sesuai bagiannya tidak semua menjabat sebagai komando, dan yang terbanyak adalah organ pendukung seperti dibidang, kepegawaian, humas, administrasi, logistik dan tranportasi. KPK dalam hal perang dengan koruptor, pasukan khusus nya adalah Kasatgas, penyelidik dan penyidik yang bernyali. Seperti yang diketahui masyarakat, justru para komando yang punya nyali untuk berperang, kebanyakan yang dipecat. Lengkap sudah sistem dilemahkan para komandonya dipecat.
Tapi apa mau dikata, rezim punya kuasa. Tinggalah kini KPK “down grade”, pegawainya dibawah “cengkraman” banyak instusi, tanpa jiwa dan tidak lagi sebuah institusi yang independen, seperti kebanyakan bentuk institusi pemberantasan korupsi di dunia lain.
Diperkirakan KPK Indonesia kini tidak lagi punya gigi “keberanian” memeriksa level atas seperti Menteri, anggota DPR, petinggi Parpol, apalagi setingkat Presiden dan Wapres, ataupun keterlibatan keluarga para petinggi tersebut jika diduga terjadi kasus/skandal korupsi karena akan berakibat terhadap status kepegawaian mereka sebagai ASN. Hal tersebut bisa terlihat nyata di perbagai instansi pemerintahan lainnya.
Dipastikan tepuk tangan dan sorak sorai para Komparador, para Elit yang haus Kekuasaan, para Calon Koruptor membahana atas kerja Rejim Pemerintahan Joko Widodo yang berhasil secara sistematis melalui perundang-undangan melumpuhkan dan mencabut roh jiwa dan perintah TAP MPR No XI/1998.
[***]