POLITICAL symbolism adalah simbol-simbol dari political standpoint. Ekspresinya macam-macam. Termasuk banners, akronim, logo, bendera, slogan, mottos, dan sebagainya.
Misalnya, bendera merah (traditionally) diasosiasikan dengan sosialis, left-wing radicals, dan grup komunis. Merah menjadi representatif dari “the blood of the workers” (darah buruh).
Sedangkan darah aristokrat berwarna biru. Seperti darah horse shoe crab (kepiting sepatu kuda).
Baju kotak-kotak merah merupakan corak resmi pro Ahok. Bagi orang lain, itu simbol “orang dungu”. Belakangan, baju kotak-kotak diidentikan sebagai simbol penoda agama.
Kelompok kultural juga punya simbol. Bendera Pelangi (rainbow) digunakan kaum LGBT sebagai political way menuntut hak-hak politik.
David Butz, ahli psikologi dari Morehead State University, berpendapat, “symbols serve as reminders of group membership, that you’re part of something, whether you’re part of a nation or a subgroup within that nation.”
Selain itu, political symbolism bisa dilihat dari aksi massa. Demonstrasi merupakan bahasa politik. Pasca kalah di pilkada, Ahokers menggunakan karangan bunga sebagai bahasa politik. Belakangan, lilin dijadikan simbol gerakan politik. Di Papua, banyak pemotor jatuh akibat jalanan licin dilapisi sampah lelehan lilin.
Aksi massa Ahoker berslogan “Keadilan Telah Mati”. Indirectly, mereka bilang Rezim Jokowi mematikan keadilan itu. Tidak heran bila seorang ahoker bernama Veronika Kuman berteriak, “rezim Jokowi lebih parah dari rezim SBY”.
Sebuah media portal menyatakan Veronika Kuman terlibat aksi referendum Papua.
Bahasa Politik Ahoker beresonansi di berbagai daerah. Seorang gadis bernama Nurul Indra diberitakan sebagai “muslim palsu” menggelar aksi solo bakar lilin di Padang.
Dia disebut-sebut bernama asli Deborah Simanjuntak (Kristen nyamar). Sekelompok separatis di Minahasa membentangkan bendera salib. Merilis rencana referendum.
Gerakan Ahoker bertransformasi menjadi gerakan separatis, thus anti NKRI dan anti rezim Jokowi.
Motif separatis itu diperkuat dengan gelombang aksi di berbagai negara. Ahoker menarik “foreign power” seperti Belanda menyudutkan NKRI dan Pemerintah Presiden Jokowi.
Ahoker separatis ini menemukan perasaan orgy dalam aksi bakar-bakar lilin. Persis seperti yang dikatakan Historian Eric Hobsbawm, “next to sex, the activity combining bodily experience and intense emotion to the highest degree is the participation in a mass demonstration at a time of great public exaltation.”
Ambivalensi adalah cacat logic Ahoker. Tidak bisa disembuhkan dan bersifat permanen. Ambivalensi itu ditemukan pada target, bahasa dan simbol-simbol aksi mereka.
Ngomong kebhinekaan tapi ekslusif dan rasis. Ngoceh NKRI Harga Mati tapi dukung deklarasi Minahasa Raya. Berkata patuhi hukum tapi hujat hakim dan langgar aturan tentang unras. Sesumbar Pro Jokowi tapi bikin aksi mendeskreditkan pemerintah dari luar negeri.
Ada dua gol yang ingin mereka sampaikan dengan aksi lilin ini. Pertama, mereka minta Presiden Joko mengintervensi hukum. Thus melanggar kaidah demokrasi dan trias politica. Kedua, menjelek-jelekan Pemerintahan Joko. Pantas Mendagri Tjahyo Kumolo geram.
Oleh Zeng Wei Jian, Aktivis Tionghoa