KedaiPena.Com – Pembatasan keluarga penguasa untuk ikut dalam pilkada sempat diatur dalam UU Pemilu. Namun dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena alasan hak asasi manusia.
Demikian disampaikan anggota Komisi II DPR Saan Mustopa terkait maraknya keluarga penguasa yang maju di pilkada serentak 2020.
Di antara yang mencuri perhatian adalah majunya anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming di Pilkada Solo.
“Sebenarnya dinasti politik adalah fenomena demokrasi yang wajar, asal prosesnya wajar juga,” kata politisi Nasdem ini kepada KedaiPena.Com, Selasa (28/7/2020).
Ia kemudian membandingkan dengan sistem demokrasi di Amerika Serikat (AS). Di negeri Paman Sam, anak dari eks Presiden Bush Senior bisa menjadi Presiden juga.
“Ini bukan fenomena baru. Di AS saja yang format demokrasinya sudah mapan, apalagi di Indonesia,” sambungnya.
Ia pun ragu dengan anggapan Jokowi akan menyalahgunakan kewenangan demi anaknya, Gibran, menang di Pilkada Solo. Pasalnya level keduanya berbeda.
“Jokowi, adalah presiden, sementara Gibran mau menjadi walikota. Jadi motif melanggengkan kekuasaan jauh,” ujar eks Demokrat ini.
Apalagi, Gibran mengikuti pilkada langsung yang dipilih rakyat. Bukan penetapan atau penunjukan dari pusat.
Meski demikian, dia memahami bahwa proses dinasti politik untuk melanggengkan ‘status quo‘, yang satu level, terjadi di beberapa daerah.
“Di Tasik dan Makassar 2015 terjadi fenomena kotak kosong. Ada juga daerah yang suaminya habis dua periode, lalu istrinya maju. Ini levelnya sama,” sambungnya.
“Dalam konteks ini, politisasi birokrasi dan alat negara bisa terjadi. Ini berbahaya, bahkan di beberapa daerah juga terjadi sampai tiga generasi,” tandas Saan.
Laporan: Muhammad Lutfi