KedaiPena.com – Penundaan pembahasan RUU Penyiaran disambut baik oleh para pihak. Mengingat, RUU Penyiaran tesebut menuai kritik dan aksi demo di beberapa kota besar, yang dilakukan oleh para pewarta.
Anggota Komisi I DPR RI, Fraksi Partai Nasdem, Muhammad Farhan menjelaskan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran awalnya bertujuan sebagai harmonisasi atas Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang memuat poin terkait dengan penyiaran.
Ia menyebutkan, bahwa DPR menilai bahwa RUU tentang Penyiaran merupakan sebuah kewajiban yang harus dibahas di lembaga legislatif tersebut.
“Khususnya klaster penyiaran untuk pasal analog switch off,” kata Farhan dalam keterangan tertulis, Kamis (30/5/2024).
Seperti diketahui, dalam UU Cipta Kerja, disebutkan bahwa penyelenggaraan penyiaran mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi dari teknologi analog ke teknologi digital, atau yang disebut dengan analog switch off.
Selain itu, RUU Penyiaran berawal dari sebuah persaingan politik antara lembaga berita melalui platform terestrial versus jurnalisme platform digital. Dengan begitu, RUU Penyiaran itu memuat peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
“Jadi, revisi UU yang ada ini atau draf RUU yang ada sekarang, itu memang memberikan kewenangan KPI terhadap konten lembaga penyiaran terestrial,” ujarnya.
Kini pembahasan RUU Penyiaran di DPR telah dipastikan ditunda berdasarkan pernyataan Badan Legislasi DPR RI. Ke depannya, dia meminta pembahasan RUU tersebut melibatkan publik agar hasilnya lebih sempurna.
“Jika pintu revisi dibuka, wajar masuk juga ide-ide lain dalam revisi tersebut,” pungkas legislator dari Dapil Jawa Barat I tersebut.
Secara terpisah, mantan Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia Jakarta Raya Fajar Kurniawan menegaskan bahwa revisi UU Penyiaran harus ditolak, karena banyak hal yang tidak sesuai.
“RUU Penyiaran akan memenjarakan kebebasan pers, utamanya karena salah satu pasal yang melarang jurnalisme investigasi,” kata Fajar.
Ia menjelaskan ada tiga klausul pasal krusial, yakni Pasal 8 dan 42 soal adanya lembaga lain selain dewan pers dalam penanganan sengketa pers. Dan Pasal 50 soal pemberantasan jurnalisme investigasi.
Laporan: Ranny Supusepa