TIGA kejadian unik dan brutal terjadi dalam tanggal sama meski waktu yang berbeda 22 Mei di Jakarta.
Pertama pembubaran paksa 21 Mei dan insiden penyerangan ke Masjid Al Makmur di daerah Petamburan. Malam hari. Korban satu orang tewas dan beberapa orang luka.
Kedua, penyerangan menjelang subuh hingga pagi ke beberapa daerah Tanah Abang dan Petamburan dengan korban 6 orang tewas dan puluhan luka.
Ketiga 22 Mei malam saat bubar aksi setelah shalat tarawih berjamaah. Sekurangya 8 meninggal dan puluhan luka luka.
Dalam pemberitaan resmi disebut bahwa kejadian tersebut adalah kerusuhan akibat aksi protes terhadap penetapan KPU yang dianggap curang dan tidak tepat waktu.
Semestinya 22 Mei tetapi prakteknya pada tanggal 21 Mei. Peserta aksi tetap mengadakan kegiatan tanggal 21-22 sesuai agenda yang direncanakan dan dipublikasikan.
Ada hal janggal dan nuansa rekayasa pada peristiwa ini.
Pertama patutkah disebut kerusuhan jika sesuatu kejadian itu dilakukan “by design” baik oleh pihak kesatu, kedua, ataupun ketiga.
Itu sangat jelas namanya sabotase dan sabotase ini adalah agenda berdasarkan perencanaan yang matang. Ada “rundown” acara yang terselubung.
Kedua, aksi yang dilakukan peserta bermuatan atau memiliki sesi ibadah yaitu shalat tarawih berjamaah. Hal ini berhubung dengan waktu aksi di bulan Ramadhan.
Setelah shalat tarawih jama’ah/peserta bubar dengan tertib. Justru “perusuh” saat itu muncul dan membuat aksi pancingan yang berbalas penembakkan gas air mata bahkan senjata tajam aparat.
Ketiga, sejak siang Wiranto mengumumkan blokade medsos/menutup jaringan internet dengan alasan menghindari berita hoax atau demi kepentingan negeri.
Aneh memang seperti “sesuatu” sudah disiapkan dan berita menuju kejadian tersebut mesti ditutup. Hak mendapatkan informasi masyarakat diberangus sementara kerugian usaha dipastikan besar sekali. Negara bisa dituntut. Jika dasarnya adalah “situasi genting” harus ada lembaga Perpuu dulu.
Keempat, peristiwa 22 malam logisnya jauh dari “harus rusuh” sebab berbeda dengan hari sebelumnya yang ada agenda menginap dari peserta aksi. Kini tidak.
Lalu 22 yang awalnya akan mendengar pengumuman Pilpres nyatanya sudah didahului. Sementara Paslon 02 sudah umumkan akan lanjut proses hukum MK.
Tak ada alasan situasi menjadi “panas”. Adanya kelompok “by design” di akhir acara memang mengacaukan. Korban tindakan aparat adalah peserta aksi yang datang baik baik. Banyak korban kena tembakan peluru tajam.
Kelima, modus operandi dengan bakar bakaran patut dijadikan dasar penyelidikan. Apalagi “preman bertatto” telah banyak yang ditangkap.
Bakar markas Brimob hingga bakar Gedung Bawaslu. Tidak ada kepentingan peserta aksi untuk membakar Bawaslu, karena KPU-lah yang lebih layak jadi sasaran amuk masa.
Jika itu diniatkan. Tetapi kejanggalan terjadi. Ini rusuh atau disuruh. Atau disuruh untuk rusuh. Rekayasa jahat.
Semoga gugurnya peserta aksi adalah martir demokrasi yang menjadi syuhada. Para pelaku kejahatan akan menerima balasan. Kematian di jalan Allah tidak sia sia dan akan menjadi pembuka jalan bagi kemenangan ke depan. Kezaliman ini hanya sebuah proses. Insya Allah.
Oleh M Rizal Fadillah, pengamat sosial politik, tinggal di Bandung