Artikel ini ditulis oleh Dr Mahmud Syaltout, Pengajar pada Paramadina Graduate School of Diplomacy.
Saya coba menganalisa kasus perang Rusia Ukraina karena sudah pernah menggeluti isu ini sejak menulis Disertasi Doktoral di Paris dulu.
Dalam kajian itu, khususnya terkait bagaimana Asia menjadi “The Hottest Zone During The Cold War“, di mana perang (panas) betulan terjadi, bukan cuma perang “dingin”, mulai Perang Korea, Perang Vietnam, sampai tentu saja konfrontasi Indonesia Malaysia.
Dalam riset yang saya lakukan membuktikan bahwa “Pax Mercatoria“, perdamaian melalui perdagangan (wabil khusus multilateral neoliberal) hanyalah ilusi dan bahkan cuma mitos.
Temuan riset terkait perang-perang di Asia saat Perang Dingin, menunjukkan bahwa perang tidak selalu menyebabkan perdagangan sepenuhnya terhenti. Dan tidak selalu perdagangan yang semakin tinggi volume maupun nilainya antar negara menyebabkan perang antar negara.
Hal tersebut hanya “great illusion“, dan bahkan justru sebaliknya, bisa jadi antar negara tersebut tidak bisa menghindar dari untuk tidak berperang satu sama lain.
Bahkan kita pun tahu bahwa hipotesis Norman Angell bahwa perang antara Jerman dan Inggris “Great Illusion” karena kedua negara tersebut sangat kuat ikatan perdagangannya, yang ditulis pada tahun 1909, langsung dibantah oleh fakta sejarah.
Perang Dunia I terjadi setelah karya Norman Angell terbit, dan kemudian disusul oleh Perang Dunia II, yang lagi-lagi menempatkan Jerman justru berhadapan dengan Inggris.
Pada saat perang, ternyata tidak semua pihak menjadi buntung, rugi, defisit dan mengalami krisis perdagangan maupun ekonomi. Ada beberapa negara yang justru diuntungkan dengan munculnya bukan hanya ketegangan konflik antar negara, tapi juga perang yang terbuka.
Pengaruh konflik Russia vs Ukraina
Lalu bagaimana pengaruh konflik Russia vs Ukraina kali ini? Pengamatan saya dalam disertasi yang saya ajukan dulu, masih tetap relevan.
Untung dan rugi secara ekonomi maupun perdagangan dalam konflik Russia vs Ukraina ini bukan hanya bergantung pada sisi mana kita berpihak secara politik (apakah Pro Russia ataukah Pro Ukraina). Tapi juga bergantung pada inter-dependensi perdagangan kita.
Apakah dengan jejaring dagang aliansi besar Russia ataukah aliansi Ukraina-US-EU dan juga secara khusus pada komoditas ekspor dan impor kita.
Konflik Russia vs Ukraina malah bisa menaikkan sangat drastis beberapa komoditas, khususnya minyak, gas bumi, perak, emas, nikel dan alumunium, serta beberapa mineral lainnya seperti palladium dan lain-lain.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia saat ini bukan lagi eksportir minyak dan gas, bahkan justru kita sudah menjadi negara importir.
Harga minyak dan gas bumi yang semakin tinggi pasca meningkatnya eskalasi konflik Russia vs Ukraina, dalam jangka panjang dapat merugikan Indonesia.
Jika tidak disiasati betul, dengan adanya economic shock terhadap APBN karena Pandemi COVID-19, maka harga minyak dan gas yang tinggi akan semakin membebani APBN kita.
Pertumbuhan ekonomi kita yang lumayan membaik tahun 2021, bisa jadi terdampak. Namun, aku berharap Kabinet Pak Jokowi, khususnya tim Bu Sri Mulyani, bisa memitigasinya dengan baik.
Di lain sisi, Indonesia saat ini dikenal sebagai negara penghasil emas, perak, alumunium dan nikel yang saat ini juga ikutan naik pasca meningkatnya eskalasi konflik Russia vs Ukraina.
Jika kita bisa mengoptimalkan peluang ini, ekonomi kita bukan hanya selamat dari ancaman defisit karena dampak naiknya harga migas, tapi juga bisa untung besar.
Namun, untuk mendapatkan untung besar, perlu strategi yang jitu terkait pertambangan, baik di hulu maupun hilirnya, termasuk tentu saja terkait pembangunan smelter dan lain-lainnya.
Di sini lah, saya melihat politik luar negeri bebas aktif Indonesia menemukan relevansi dan signifikansinya.
[***]