KedaiPena.Com – Kejutan yang terjadi paska agresi Rusia ke Ukraina memunculkan pertanyaan, apakah telah pecah dan bergesernya bangunan western trans Atlantik yang ditandai ketika Rusia membangun proxy dengan China.
Apakah hal itu juga sebagai bagian dari perjalanan value western yang dilihat oleh peradaban non barat sebagai peradaban hipokrit, dan mementingkan diri sendiri. Mungkinkah akan bergeser ke sebuah peradaban baru yang masih menyusun bentuknya sendiri.
Dr. Shishkha Prabawaningtyas, Akademisi Universitas Paramadina mengatakan, hal tersebut masih menjadi pertanyaan besar, akan bergerak ke arah mana setelah sebelumnya ada clash antara komunis vs demokrasi dan kemudian demokrasi vs otokrasi.
“Terjadi benturan nilai peradaban dan tarik-menarik antara sistem nilai demokrasi dan otokrasi. apalagi setelah terbukti sistem besar demokrasi tidak menjamin efektivitas negara ketika berhadapan dengan pandemi Covid-19,” ujar dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, ditulis Kamis (31/3/2022).
Konsep “security dilemma” berawal dari pemikiran yang muncul pada era 1950-an yang mempunyai asumsi dasar berangkat dari proposisi bagaimana political realism (das sein) dibandingkan dengan political idealism (das solen).
“Konsep ‘security dilemma’ secara khusus membahas paradigma kebutuhan negara akan rasa aman dari ancaman negara lain,” sambungnya.
Harus ada kebijakan yang tepat terkait kondisi yang di luar perkiraan terjadi ketika Indonesia sebagai Presidensi G20. Yakni ketika Rusia melakukan agresi kepada Ukraina.
“Konsiderasi ‘policy’ harus dipersiapkan dengan narasi yang tepat, karena Rusia telah menyatakan akan hadir pada sidang G20. Indonesia jelas berada pada beberapa pilihan penyikapan. Beberapa negara besar sudah menyatakan akan memboikot pertemuan G20 di Indonesia jika Rusia diizinkan hadir,” tandas dia.
Laporan: Sulistyawan