KedaiPena.Com – Negara-negara berkembang menjadi korban dari Gross Domestic Product (GDP) Oriented, yang selalu menghitung perekonomian dan menjadikannya tujuannya. Soeharto merupakan seorang pemimpin negara yang GDP Oriented.
Di era reformasi ini di mana Sri Mulyani memimpin 4 periode Kementerian Keuangan lebih sebagai orang yang neoliberalisme dan mengatakan “tidak mungkin sebuah negara maju dengan pertanian dan koperasi. Kemudian Bank Syariah pun turut serta dalam GDP Oriented.
GDP Oriented mengeksploitasi pedesaan dan tidak kembali lagi ke desa. Dengan ini, akan terjadi middle income trap dan tidak akan terjadi Indonesia emas 2045 yang dicanangkan.
Pengamat Ekonomi Wijayanto Samirin mengatakan, GDP Oriented sering digunakan karena sangat konkret dan gampang digunakan, diukur dan dimanipulasi.
“Terlihat gampang berbohong jika dilihat dengan statistik,” tegas dia saat berbicara pada peluncuran dan diskusi buku karya Prof. Didin S. Damanhuri, berjudul Ekonomi Politik Indonesia dan Antar Bangsa di Natan Book Store & Café, Jalan Cisanggiri V no 12, Kebayoran Baru, Jaksel, Senin (1/7/2024).
Net income VOC per kapita pada saat dahulu jika di ukur dengan mata uang sekarang yaitu 300.000 USD. Tapi sebenarnya itu merupakan GDP Indonesia, bukan GDP Belanda.
“Contohnya pulau di Maluku, di mana GDP pulau tersebut dianggap tinggi karena investasi masuk, kapal yang parkir dan lain sebagainya. Tetapi, GDP per kapita ini miss leading di mana tingkat kemakmuran masyarakat di pulau tersebut tidak membaik sedangkan angka GDP-nya naik,” paparnya.
Kemudian jika fokus pada GDP, tidak akan fokus pada sumber pendapatannya. Sehingga sektor yang di inject uang menjadi naik GDP-nya.
“Lalu soal rupiah melemah dibanding mata uang negara lain, karena terlalu fokus pada GDP. Apa solusinya? Harus ada sense of crisis, IMF dan World Bank terlalu diplomatis tetapi memaksa dan menekan habis-habisan, ideologinya harus jelas,” tandasnya.
Laporan: Ricki Sismawan