TOTAL surat utang pemerintah per November 2019 berada di Rp 4.005 triliun. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 3.975 triliun (99,2%) dapat diperdagangkan atau tradable.
Ternyata ukuran pasar surat utang Indonesia besarnya lebih dari dua kali lipat dari jumlah devisa Indonesia (hasil ekspor, remitansi, dan lain-lain).
Devisa yang di BI per November tercatat sebesar USD 126,7 miliar atau Rp 1.773 triliun (kurs Rp 14.000/USD).
Dalam sebuah rezim keuangan yang seperti ini (pasar surat utang mendominasi), besar kecilnya defisit perdagangan kurang kuat pengaruhnya dalam gejolak kurs mata uang suatu negara.
Sebaliknya, penambahan surat utang pemerintah hampir pasti akan mampu menyangga kekuatan kurs, karena banyak terjadi permintaan terhadap mata uang negara tersebut.
Sederhananya, semakin banyak pemerintah berutang, menerbitkan surat utang, maka mata uang negara tersebut akan menjadi kuat.
Kurs kuat bukan karena kekuatan dalam hal ekonomi perdagangan, surplus transaksi berjalan, tapi lebih karena aktif berutang di pasar uang.
Jadi, bila perekonomian kita diibaratkan bagaikan atlet: seolah saja lari kita terlihat cepat. Tapi lari cepat bukan dari hasil latihan yang keras, melainkan akibat dari doping.
Kurs rupiah kita seolah terlihat kuat, padahal defisit neraca dagang (kumulatif) lumayan besar dan deindustrialisasi semakin cepat, serta tax ratio mentok di 9%.
Dengan teknik doping, suatu negara tidak perlu memperkuat ekonomi industri dan perdagangan agar ekspor surplus tinggi (cadangan devisa tinggi), tapi cukup dengan mencetak utang di pasar surat utang sebanyak mungkin, maka kurs mata uang negara tersebut menjadi kuat.
Ini sebuah teknik ekonomi yang buruk, sangat tidak produktif dan berpotensi bermasalah di masa depan.
Tidak produktif, karena sampai kapanpun para pelaku kebijakan tidak akan berusaha keras untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan, yang sangat berhubungan dengan kesehatan sektor industri dan perdagangan.
Sehingga kita akan terus puas dengan growth di kisaran 5%, sehingga tidak kunjung menjadi negara maju (berdasarkan pendapatan perkapita) hingga 2045.
Bermasalah di masa depan, karena akumulasi dari tingginya bunga surat utang kita (tertinggi di Asia Timur) akan terus semakin besar dari tahun ke tahun.
Alokasi untuk pembayaran bunga utang akan semakin mengorbankan alokasi anggaran untuk sektor-sektor lain di APBN. Umumnya, alokasi untuk rakyat banyak yang akhirnya dikorbankan pemerintah.
Apalagi bila pertumbuhan penerimaan negara tidak kunjung membaik, dan pemerintah kita tidak kreatif -hanya paham teori pengetatan (austerity), maka korbannya adalah rakyat.
Rakyat tercekik dengan dicabutnya berbagai subsidi seperti di bidang energi (TDL 900KVA), kesehatan (iuran BPJS), dan penaikan pajak di cukai rokok dan jalan tol.
Sedikit tentang tingginya bunga surat utang kita, sebagai penutup. Saat ini besaran bunga/kupon yang ditawarkan pemerintah Indonesia untuk surat utang bertenor 3 bulan, adalah di 7,5% hingga 8,3%.
Besaran bunga ini terlalu tinggi, sangat keterlaluan. Bandingkan dengan Vietnam yang surat utang bertenor 1 tahun nya saja, tingkat kupon di kisaran 1,8%. Filipina di kisaran 3,4% untuk jenis yang sama. Malaysia di 3%. Dan Thailand di 1,45%.
Padahal rating surat utang Indonesia masih lebih tinggi dari Filipina maupun Vietnam. Sungguh tidak masuk akal, Indonesia harus selalu membayar bunga 2-4 kali lipat besarnya dari negara-negara tetangga di kawasan.
Oleh Gede Sandra, Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR)