KETIKA masyarakat tersita waktunya menyaksikan pendaftaran capres/cawapres ke KPU, saya kebetulan sedang bersantap siang dengan beberapa bankir nasional.
Herannya, para bankir malah bertanya kepada saya tentang bagaimana nasib rupiah sampai akhir tahun ini?
Gonjang-ganjing politik dalam beberapa tahun belakangan ini ternyata sama sekali tidak pernah berbanding linear dengan pergerakan nilai tukar kita.
Seberapa keras kerja pemerintah pun selalu tidak sanggup menahan apresiasi mata uang lain terhadap rupiah, padahal Indonesia saat ini termasuk negara dengan ekonomi yang digdaya menurut semua pemeringkat maupun pasar.
Namun perlu diingat pula bahwa rupiah merupakan mata uang terburuk ketiga kinerjanya di dunia sejajar dengan negara-negara Afrika yang sedang dilanda perang saudara.
Rupiah tidak pernah rebound semenjak krisis moneter Asia 1998 sampai saat ini. BI sebagai otoritas tunggal moneter di Indonesia menurut saya satu-satunya institusi negara yang gagal total mengangkat harkat hidup masyarakat kita.
Padahal dengan berbagai perangkat aturan perundangan yang dimilikinya saat ini, BI yang independen dan tidak bisa diintervensi oleh Presiden maupun DPR sekalipun, seharusnya mampu berinovasi lebih banyak.
Hal ini harus dilakukan untuk membuat rupiah lebih berdaya seiring dengan pertumbuhan ekonomi kita yang termasuk terbaik di dunia tersebut dan lebih mampu menegakkan aturan perbankan yang membuat spread bunga antara deposito dan pinjaman tidak terlampau tinggi seperti sekarang ini.
Hakekatnya kita butuh rupiah yang wajar, yang kuat seiring dengan kuatnya pertumbuhan ekonomi Negara bukan hanya sekedar stabil yang tidak jelas di level berapa.
Penguatan rupiah akan berdampak pada menguatnya daya beli masyarakat (purchasing power) dan spread antara bunga deposito dan pinjaman yang tidak terlampau tinggi. Ini akan menggairahkan pembiayaan sektor riil dan produktif yang dalam jangka panjang akan membuat kemajuan ekonomi bangsa ini lebih sustain.
Lalu apa yang sebaiknya dilakukan oleh para pemangku kebijakan utamanya otoritas moneter ini.
Pertama, penertiban secara menyeluruh terhadap penyelenggara penukaran uang (money changer) untuk memotong permainan para spekulan, menentukan efek psikologis pasar dan memastikan seluruh transaksi perdagangan barang dan jasa eksport impor harus melalui perbankan nasional menggunakan rupiah.
Jangan dibiarkan melalui negara ketiga utamanya seperti Singapura sehingga ketika ada permintaan barang maupun jasa atas komoditas Indonesia otomatis permintaan rupiah akan meningkat.
Kedua, perlu reorientasi kebijakan total tentang nilai tukar. Mazhab ekonomi yang terlampau takut terjadinya penguatan rupiah karena khawatir pola konsumtif masyarakat akan meningkat harus dihilangkan, ketika terjadi booming komoditas tertentu dari Indonesia seharusnya dibiarkan kurs itu menguat karena permintaan rupiah pasti meningkat.
Ketiga, pastikan spread suku bunga antara deposito dan pinjaman tidak tinggi seperti selama ini. Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang masih sangat jauh spread antara bunga deposito dan pinjaman nya bisa double bahkan pernah sampai 10% perbedaannya.
Ini menunjukkan gagalnya membangun sistem perbankan yang efisien namun membiarkan pembiayaan yang hanya terfokus pada kegiatan non produktif.
BI harus keluar dari comfort zone yang sudah berpuluh-puluh tahun dijalankan dan dinikmatinya. Tidak boleh lagi ada alasan pelemahan Rupiah karena faktor eksternal karena yang bisa menentukan arah kebijakan dan nasib bangsa maupun Rupiah sebagai simbol kedaulatan Indonesia ya siapa lagi kalau bukan kita sendiri.
Amerika dan Inggris sudah bolak balik “bermain†dengan Quantitative Easing, yang oleh salah satu anggota parlemen Inggris malah disebut sebagai tindakan illegal karena jelas-jelas melakukan pencetakan uang secara masif dengan alasan untuk kepentingan investasi bahkan disebut sebagai langkah counterfeiting.
Intinya adalah dibutuhkan pendekar moneter yang mampu membaca pasar yang telah berubah secara cepat, dengan melakukan tindakan tepat demi mendukung pemerintah kita yang sedang giat bekerja dan membangun dengan rate yang sangat cepat pula.
Oleh DR. Riza Suarga, Wakil Ketua Umum Dewan Ekonomi Indonesia Timur, Ketua Dewan Pakar Orkestra