DOLAR Amerika, Selasa (6/11/2018) makin perkasa, sudah menyentuh Rp14.980/US$. Dalam rentang 9 Mei hingga 6 November, rupiah terombang-ambing pada kisaran terendah di Rp15.234,61 (11 Oktober) dan tertinggi Rp13.818,89 (1 Juni).
Banyak pihak yang khawatir atas tren kian loyonya rupiah. Perusahaan yang eksposur kredit dan biayanya banyak dalam denominasi dolar jadi yang paling terpukul. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), misalnya, pekan silam mengumumkan, sepanjang periode kuartal III tahun ini diterkam rugi hingga Rp18,48 triliun.
Kerugian itu terjadi karena terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan naiknya harga bahan bakar. Tidak tanggung-tanggung, kerugian karena selisih kurs ( unrealised lost) saja mencapai Rp17,33 triliun.
Kerisauan banyak pihak, khususnya dunia usaha, atas terus melemahnya rupiah ternyata tidak dirasakan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dengan enteng dia bahkan bisa membuat pernyataan setiap pelemahan Rp100 terhadap dolar Amerika, negara memperoleh tambahan penerimaan hingga Rp1,7 triliun.
Sri juga tampaknya bungah kalau harga minyak di pasar dunia melambung. Katanya, setiap kenaikan harga minyak mentah (ICP) US$1 per barel, negara dapat tambahan penerimaan Rp660 miliar. Padahal, bagi PLN naiknya harga minyak berarti neraka. Bayangkan, tiap kenaikan US$1/barel, pabrik setrum pelat merah itu harus merogoh kocek lebih dalam sebesar Rp268 miliar.
Bagaimana mungkin seorang Bendahara Negara kok bisa-bisanya asyik dengan urusannya sendiri sekaligus abai terhadap nasib pihak lain. Perkara PLN atau perusahaan lain jadi sekarat bahkan putus nyawa karena naiknya harga minyak dan lunglainya rupiah, itu bukan urusannya. EGP, emang gue pikirin! Tapi sudahlah, cape juga bicara soal Menkeu yang satu ini.
Kambing hitam
Kembali ke soal rupiah yang lunglai, ekonom senior Rizal Ramli termasuk orang yang menaruh perhatian serius untuk perkara ini. Dia juga sudah lama gemas dengan sikap pemerintah yang cenderung kopeg alias degil dalam menyikapi melandainya ekonomi nasional.
Menkeu dan para menteri ekonomi lebih suka berkelit dan mencari kambing hitam sebagai pembenaran atas letoinya perekonomian. Dan, modus yang rama-ramai mereka pakai adalah, menyalahkan faktor-faktor eksternal.
Memang, pemerintah sudah mengambil sejumlah langkah untuk mengerem laju kemerosotan rupiah. Antara lain dengan penundaan atau pembatalan proyek infrastruktur yang sebelumnya sangat gegap-gempita. Cara lainnya, menekan impor sejumlah komoditas agar neraca perdagangan tidak njomplang dan devisa banyak terkuras keluar.
Menurut RR, begitu mantan Menko Ekuin masa Gus Dur ini biasa disapa, langkah itu saja tidak cukup untuk mengatasi pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Kalau menekan impor, baiknya pemerintah berkonsentrasi pada 10 komoditas yang nilai impornya besar. Bukan sibuk menyisir barang-barang remeh-temeh dan printilan. Maklum, untuk menekan impor Menkeu menaikkan tarif pajak impor atau PPh pasal 22 sebesar 7,5%-10% atas 1.147 komoditas.
Wajib parkir devisa
Namun yang tidak kalah penting, lanjut dia, Pemerintah harus mewajibkan eksportir menempatkan hasil ekspornya masuk ke sistem keuangan nasional. Dengan cara ini, Devisa Hasil Ekspor (DHE) masuk ke Indonesia sebagai ‘net capital inflow’.
Bila ditambah dengan kewajiban mengkonversi dolar ke rupiah, maka efeknya bisa memperkuat rupiah secara signifikan. DHE yang masuk juga akan memperkuat ke likuiditas perbankan sehingga bank bisa menyalurkan pembiayaan lebih besar ke sektor riil.
DHE yang ditarik masuk ke dalam negeri sangat berguna untuk mempertebal cadangan devisa Indonesia. Maklum, data yang ada menunjukkan sejak Januari 2018 tren cadangan devisa kita terus menyusut. Waktu itu posisi cadangan devisa mencapai $131,98 miliar. Tapi per Juni 2018 tinggal $119,8 miliar. Salah satu penyebabnya karena Bank Indonesia sibuk mengintervensi pasar valuta asing demi meredam gejolak kurs.
Jika membuat UU terlalu lama dan berbelit, RR menyarankan Presiden Jokowi bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu). UU nomor 24/1999 tentang Lalu-lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar kita sangat bebas. Akibatnya, lalu lintas devisa masih tidak terkendali. Eksportir lebih suka memarkir DHE-nya di bank luar negeri.
Sayangnya, sejauh ini Pemerintah hanya menggunakan ‘moral suasion’ atau imbauan moral yang nyaris tidak ada efeknya. Memang perlu ada insentif bagi eksportir yang menarik devisa ekspornya ke dalam sistem perbankan nasional. Tapi pada saat yang sama juga harus ada sanksi yang tegas jika mereka tetap membandel.
Menakuti-nakuti
Para penganut paham neolib dan penghamba pasar bebas tentu akan keberatan dengan pengaturan devisa yang lebih ketat. Biasanya, mereka akan menyanyikan koor tentang sisi-sisi negatifnya plus berbagai ancaman. Misalnya, kalau devisa dikontrol ketat maka pengusaha akan memindahkan pabriknya ke luar negeri.
Kalau sudah begini bagaimana bisa ada DHE yang diparkir di dalam negeri, lha wong devisanya sendiri juga tidak ada karena tidak ada ekspor. Sayangnya, lagi-lagi, Sri dan para menteri ekonomi berada di barisan ini.
Tentang dampak negatif dari sistem (semi) kontrol devisa yang dilantunkan para pengekor eknomi pasar, bisa dibantah dengan contoh beberapa negara yang telah menerapkan. Thailand dan Malaysia adalah dua di antaranya.
Malaysia sejak 2016 telah menetapkan aturan yang mengharuskan konversi 75% DHE ke denominasi ringgit. Untuk itu eksportir memperoleh tingkat bunga istimewa saat memarkir dananya di bank-bank domestik dengan rekening khusus DHE.
Sebelumnya, pada rentang 2006-2010, hanya sekitar 28% dari DHE yang dikonversi menjadi ringgit. Bahkan periode 2011-2015 hanya 1% dari DHE yang dikonversi menjadi ringgit. Dengan kewajiban konversi tersebut, cadangan devisa Malaysia bertambah US$18 miliar.
Thailand bahkan menetapkan kebijakan ketat. Hasilnya luar biasa, mereka mampu pulih dari krisis keuangan lebih cepat ketimbang Indonesia. Pemerintah Thailand dengan ketat mengatur kontrol pertukaran valuta asing.
Negeri Gajah Putih itu menerapkan Exchange Control Act yang bertujuan menyalurkan valas bagi kepentingan publik, memantau arus modal keluar, memusatkan kepemilikan valas negara serta stabilisasi nilai tukar bath.
Sejak Desember 2006, Bank of Thailand (BoT) mensyaratkan minimal 30% dari valas dengan nilai US$20.000 atau lebih yang dikonversi menjadi bath dan harus ditahan sebagai jaminan atau deposit.
Aturan ini dikecualikan untuk transaksi yang dibebaskan dari syarat transaksi berjaminan. Jaminan akan dikembalikan sepenuhnya jika dana yang dikonversi menjadi bath tersebut mengendap di Thailand setidaknya selama setahun. Jika kurang dari setahun, maka dana jaminan yang dikembalikan hanya dua pertiganya.
Dana jaminan tadi tidak mendapatkan imbal hasil atau bunga. Selain itu, jika dana jaminan tidak dicairkan dalam kurun waktu dua tahun setelah konversi dilakukan, maka dianggap hangus dan menjadi milik negara. Bahkan, nominal rekening valas bagi individu maupun perusahaan asing di Thailand pun dibatasi masing-masing tidak boleh lebih dari $1 juta dan $100 juta.
Selain itu, DHE yang dibawa ke Thailand wajib diendapkan minimal selama 120 hari dan memerlukan persetujuan dari bank komersial domestik untuk ditransaksikan. Selanjutnya DHE juga mengendap selama 360 hari di bank komersial domestik, dalam rangka menunggu persetujuan dari Bank of Thailand untuk ditransaksikan kembali.
Ekspor tetap moncer
Lalu, benarkah aturan yang sangat ketat itu merugikan negara seperti yang dihembuskan para penganut neolib? Tenyata tidak. Buktinya, nilai tukar bath cenderung stabil terhadap dolar. Pada periode 10 Mei-5 November, bath ditaransaksikan pada rentang 31,8883 hingga 33,4953 per dolar Amerika.
Dari sisi ekspor, pada 2017 Indonesia hanya menempati urutan ke-5 di jajaran negara-negara ASEAN dengan nilai US$168,8 miliar. Sedangkan Thailand bertengger di posisi ke-2 setelah Singapura, yaitu US$236,7 miliar. Sementara Malaysia di urutan ke-3, yaitu US$217,8 miliar.
Jadi, terbukti para pemuja pasar itu hanya menakut-nakuti pemerintah, khususnya Presiden sebagai pemimpin eksekutif tertinggi. Celakanya, berita hoax tentang dampak negatif sistem kontrol devisa justru dibekingi oleh para menteri ekonominya sendiri.
Sekarang kita tunggu Presiden terpilih pada Pilpres 2019. Beranikah dia melawan hegemoni hantu-hantu neolib dan berdiri dengan dagu tegak membela kepentingan nasional dan rakyat Indonesia?
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)