KedaiPena.Com- Kebijakan larangan ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) tidak efektif dan cenderung merugikan banyak pihak. Dikatakan tidak efektif karena kebijakan tersebut tidak mampu menurunkan harga minyak goreng, terutama minyak goreng curah.
Sementara itu, negara kehilangan pemasukan baik devisa ekspor maupun pungutan ekspor yang dikelola Badan Pengelola Dana Pungutan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Dana ini semestinya bisa digunakan untuk menyubsidi haraga minyak goreng bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan pelaku usaha mikro.
Tak kalah pentingnya, kebijakan ekspor juga berdampak pada terpuruknya harga sawit rakyat karena produksi mereka sulit dipasarkan.
“Kebijakan ekspor juga membuat harga CPO global naik karena saat ini dimonopoli Malaysia. Ini salah satu alasan mengapa harga minyak goreng tak kunjung turun meski CPO dilarang diekspor, karena patokan harganya tetap saja mengacu ke harga internasional,” kata Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Kamis,(19/5/2022).
Namun demikian, menurut Amin pencabutan larangan ekspor CPO harus dibarengi dengan perbaikan signifikan terutama dari sisi distribusi dan mekanisme pengendalian harga. Ia pun menyodorkan tiga strategi untuk perbaikan sistem distribusi dan pengendalian harga.
Pertama, Amin mendesak pemerintah membenahi distribusi minyak goreng curah untuk kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah dan pelaku usaha mikro.
Amin menuturkan, persoalan utama krisis minyak goreng, khususnya untuk dua kelompok masyarakat tersebut adalah persoalan distribusi bukan produksi.
“Persoalan distribusi inilah yang menyebabkan distorsi harga dan penyelewengan alokasi kepada kelompok yang tidak berhak,” jelas Amin.
Kedua, menyepakati model bisnis dan mekanisme distirbusi minyak goreng dengan produsen besar dalam konteks tanggung jawab sosial (social responsibility) untuk sama-sama menjamin ketersediaan minyak goreng untuk kedua kelompok tersebut dengan harga terjangkau.
Sesuai kebijakan pemerintah, harganya ditetapkan Rp14 ribu per liter. Merujuk data Kementerian Perdagangan, kebutuhan minyak gorang curah, dalam kondisi normal adalah sekitar 200 juta liter per bulan.
“Katakan misalnya kebutuhan CPO untuk pemenuhan minyak goreng curah itu 10% dari total produksi nasional. Produsen penuhi kebutuhan minyak goreng seharga Rp 14 ribu per liter ini, sisanya 90% dari produksi nasional, silahkan diserahkan ke mekanisme pasar. Ini bisa menjadi win-win solution,” beber Amin.
Strategi ketiga, Amin mendorong BUMN Pangan baik Bulog maupun ID Food, untuk memperbesar perannya baik dalam mekanisme distribusi dan pengendalian pasokan.
Hal itu penting untuk menjadikan BUMN sebagai kekuatan penyeimbang sekaligus representasi negara dalam memenuhi hajat hidup masyarakat.
“Saat ini posisi BUMN Pangan, dalam konteks bisnis minyak sawit porsinya masih sangat kecil, sekitar 4% di sisi hulu dan 5% saja di sisi hilir. Dalam jangka panjang, sulit mereka menjadi penyeimbang pasar minyak goreng di dalam negeri,” tegas Amin.
Amin menegaskan, BUMN harusnya bisa menjalin kemitraan dengan petani sawit dimana produksi sawit rakyat saat ini mencapai 41% dari produksi CPO nasional.
“Sehingga dalam kondisi khusus seperti saat ini disaat harga sawit rakyat anjlok, BUMN juga menjadi penyelamat mereka.
Namun masalahnya, petani saat ini lebih nyaman bermitra dengan swasta dan menjual produksi mereka ke swasta. Artinya BUMN sendiri harus membenahi pola kerjasama agar petani mau berkongsi,” papar Amin.
Amin mengungkapkan, secara nasional, gabungan BUMN Pangan saat ini sedikitnya memiliki 85 titik distribusi minyak goreng. Instrumen yang tidak bisa disaingi pihak swasta, sehingga menjadi keunggulan kompetitif BUMN Pangan.
“Yang diperlukan saat ini adalah mekanisme pengendalian distribusi agar tidak terjadi distorsi harga maupun mis-alokasi agar minyak goreng murah tidak dinikmati oleh yang tidak berhak,” pungkasnya.
Laporan: Muhammad Hafidh