Artikel ini ditulis oleh Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Bandara Indonesia (lABI) Ketua Ikatan Alumni Curug (IAC), Salahudin Rafi, ST, MBA.
FEDERAL Aviation Authority (FAA) mendefinisikan ruang udara (airspace) sebagai bagian dari atmosfir yang dikendalikan oleh suatu negara atas wilayahnya, termasuk wilayah perairan atau IFR dan menerima informasi lalu lintas terkait penerbangan VFR lainnya.
Ketika kita membahas ruang udara, ada banyak aturan dan prosedur yang terlibat, baik untuk negara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara anggota International Civil Aviation Organization (ICAO).
Klasifikasi ruang udara digunakan oleh ICAO pada tahun 1990, dimana AS juga menggunakan klasifikasi yang sama, meskipun digunakan secara berbeda pada tahun 1993. Diizinkan dan semua penerbangan disediakan layanan kontrol lalu lintas udara. Penerbangan IFR dipisahkan dari penerbangan IFR lainnya dan menerima informasi lalu lintas terkait penerbangan VFR.
Penerbangan VFR menerima informasi lalu lintas terkait dengan semua penerbangan lainnya. Sebelum, tahun 1993, AS memiliki 20 jenis ruang udara (Aero-nautical Information Manual, April 2014).
Menurut ICAO terdapat 2 (dua) jenis ruang udara, yaitu: ruang udara yang dikendalikan (Controlled Airspace) dan ruang udara yang tidak dikendalikan (Un-controlled Airspace).
Controlled Airspace didefinisikan sebagai ruang udara dari dimensi yang ditentukan di mana tersedia layanan kontrol lalu lintas udara (air traffic control service) bagi penerbangan yang menggunakan Instrument Flight Rules (IFR) dan penerbangan yang mengganakan Visual Flight Rules (VFR) berdasarkan klasifikasi ruang udara.
Sedangkan Uncontrolled Airspace adalah ruang udara dari dimensi yang ditentukan dimana tidak tersedia layanan kontrol lalu lintas udara.
Visual Flight Rules (vFr) dikenal dalami industripenerbangan dan dimaknai untuk menjelaskan seperangkat peraturan di mana pilot mengoperasikan pesawat terbang dalam kondisi cuaca (secara umum) cukup jelas yang memungkinkan pilot dapat melihat kemana pesawatnya bergerak. Secara khusus cuaca harus lebih baik dari cuaca VFR dasar minimal, yaitu kondisi Visual Meteorological Conditions (VMC), yang ditentukan oleh otoritas penerbangan.
Pilot harus mampu mengoperasikan pesawat dengan referensi visual ke daratan dan dengan visual menghindari penghalang dan pesawat lainnya. Jika keadaan cuaca di bawah VMC, maka pilot diwajibkan untuk menggunakan Instrument Flight Rules (IFR) dan pengoperasian pesawat terbang (terutama) akan menggunakan referensi ins.
Dalam kategori Controlled Airspace terdapat 5 kelas yaitu:
Kelas A: Hanya penerbangan IFR yang diijinkan dan semua penerbangan disediakan layanan kontrol lalu lintas udara dan ter- pisah satu sama lain.
Kelas B: Penerbangan IFR dan VFR yang diijinkan dan semua penerbangan dise- diakan layanan kontrol lalu lintas udara dan terpisah satu sama lain.
Kelas C: Penerbangan IFR dan VRF yang diijinkan dan semua penerbangan disediakan layanan kontrol lalu lintas udara. penerbangan IFR dipisahkan dari penerbangan IFR lainnya dan dari penerbangan VRF. Penerbangan VRF dari penerbangan IFR dan menerima informasi lalu lintas terkait penerbangan VRF lainnya.
Kelas D: Penerbangan IFR dan VFR secara umum adalah setiap bagian tiga-dimensi tertentu dari atmosfir. Ruang udara berbeda dengan ruang angkasa (aero- space), yang merupakan istilah umum untuk atmosfir bumi dan luar angkasa di sekitarnya.
Kelas E: Penerbangan IFR dan VRF diizinkan. Penerbangan IFR disediakan layanan kontrol lalu lintas udara dan terpisah dari penerbangan IFR lainnya. semua penerbangan menerima informasi lalu lintas.
Dalam kategori Uncontrolled Airspace, terdapat 2 kelas, yaitu:
Kelas F: Penerbangan IFR dan VRF diijinkan. semua penerbangan IFR berpartisipasi menerima layanan konsultasi lalu lintas udara dan semua penerbangan menerima layanan informasi penerbangan jika diminta.
Kelas G: Penerbangan IFR dan VRF diijinkan dan menerima pelayanan informasi penerbangan jika diminta.
Ruang Udara Indonesia
Yang dimaksud dengan ruang udara adalah ruang yang terletak diatas ruang daratan dan atau ruang lautan sekitar wilayah negara dan melekat pada bumi dimana suatu negara mempunyai hak yurisdiksi.
Ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara merupakan satu kesatuan ruang yang tidak dapat dipisah-pisahkan (Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan ri).
Untuk mengatur dan mengendalikan lalu lintas penerbangan di atas ruang udara wilayah NKRI, berdasarkan Peraturan Pemerintah RI nomor 77 tahun 2012, telah dibentuk perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI), pada pasal 13 ayat 2 menjelaskan: pelayanan lalu lintas penerbangan (Air Traffic Services/ATS) terdiri atas pelayanan pemanduan lalu lintas penerbangan (Air Traffic Control Service) dan pelayanan informasi penerbangan (Flight Information Service), serta pelayanan kesiagaan.
Sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia, telah meratifikasi Konvensi Geneva 1944 (Convention on International Civil Aviation) sehingga kita menganut pemahaman bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayahnya, tidak dikenal adanya hak lintas damai.
Tidak satu pun pesawat udara asing diperbolehkan melalui ruang udara nasional suatu negara tanpa ijin negara yang bersangkutan.
Dalam Civil Aviation Safety Regulations (CASR) atau Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) bagian 91, dijelaskan 6 kelas ruang udara yang digunakan di Indonesia, yaitu: Kelas A, B, C, D, E dan G.
Pemerintah republik Indonesia (RI) mengendalikan lalu lintas udara di atas ruang udara Negara Kesatuan Republik Indonesia dan membagi menjadi dua wilayah FIR (Flight Information Region), yaitu: FIR Jakarta dan FIR Makassar (dahulu Ujung Pandang), dibantu FIR Singapura untuk sektor A, B dan C (wilayah di atas Batam dan Natuna).
Untuk sektor A, Indonesia mendelegasikan tanggung jawab pelayanan navigasi dari permukaan laut hingga ketinggian 37.000 kaki.
Di sektor B pendelesian meliputi permukaan laut hingga ketinggian tak terbatas. Sektor C, ditetapkan sebagai wilayah abu-abu (tidak termasuk dalam perjanjian, karena masih terkait persoalan perbatasan dengan Malaysia).
Di sektor A, FIR Singapura mendapat mandat untuk mengutip jasa navigasi penerbangan sipil yaitu: Route Air Navigation Servises (RANS) Fee atas nama Pemerintah RI, untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah RI sedangkan wilayah sektor B dan C tidak dikenai RANS Fee karena masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut dengan berbagai pihak.
Saat ini ruang udara di atas Kepulauan Riau (Kepri) dan Natuna masih masuk dalam pelayanan navigasi penerbangan Flight Information Region (FIR) Singapura. Kenyataan bahwa hal ini menjadi permasalahan terkait ruang udara di atas daerah perbatasan wilayah NKRI yang harus segera dituntaskan.
Indonesia kehilangan kontrol atas ruang udara yang berada di wilayah natuna, ini akan dapat mengakibatkan pembatasan dan terbatasnya keleluasaan dalam melakukan kegiatan operasional penerbangan dan juga penegakan hukum di wilayah NKRI.
Optimalisasi tugas penegakan hukum dan pengamanan wilayah udara nasional oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 10 Huruf b Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia hanya bisa dilakukan (apabila) pelayanan navigasi penerbangan yang saat ini dikelola oleh pemerintah Singapura dapat diambil-alih oleh pemerintah RI.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan, Presiden Joko Widodo telah menegaskan kepada Wakil Perdana Menteri yang merangkap Menteri Koordinator Bidang Keamanan Nasional Republik Singapura Teo Chee Hean bahwa Indonesia akan mengambil alih kontrol atas ruang udara atau FIR (Flight Information Region) di Kepulauan Riau antara lain mencakup: Batam, Tanjung Pinang dan Natuna– yang selama ini dipegang Singapura.
Sementara Itu, pada acara seminar nasional tentang penerbangan yang dilaksanakan tanggal 26 oktober 2016 lalu, Marsda TNI (Purn) Subandi Parto juga pernah menyatakan bahwa ada hal mendasar yang belum dimiliki oleh indonesia, khususnya di bidang keudaraan dan penerbangan yaitu: belum adanya undang-undang yang mengatur tentang kedaulatan negara, khususnya ruang udara.
Yang sudah ada sekarang adalah Undang-undang RI Nomor 43 Tahun 2008 tentang wilayah negara yang berbeda dengan undang-undang Kedaulatan Negara. Undang-undang Nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan yang juga bukan undang-undang Kedaulatan Negara.
Apabila Indonesia memiliki Undang- undang Kedaulatan Negara di Udara, maka negara bisa membentuk peradilan tentang kejahatan atas kedaulatan di ruang udara dengan keputusan pidananya hukuman mati, penjara, kurungan atau denda. TNI AU dianggap tepat untuk menjadi insiator terbentuknya Undang-undang Kedaulatan Negara Ruang Udara ini.
Namun, apabila pemerintah RI telah memiliki Undang-undang Kedaulatan di Ruang Udara, maka Indonesia dapat memasang batas prohibited, restricted dan danger area di ruang udaranya. Peluang ruang udara Indonesia sesuai Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 29 tahun 1998 tentang Struktur dan Golongan Tarif Pelayanan Jasa Kebandarudaraan dan Pelayanan Penerbangan pada bandar udara umum.
Pelayanan yang diberikan oleh pengelola suatu bandar udara akan menghasilkan suatu pendapatan yang terbagi menjadi 2 (dua) yaitu, pendapatan aeronautika dan pendapatan non aeronautika.
Sementara pendapatan, aeronautika adalah pendapatan yang didapat dari jasa pelayanan langsung terhadap kegiatan penerbangan. Tarif aeronautika ditentukan pemerintah yang dikontrol oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.
Beberapa jenis pendapatan aeronautika adalah: Jasa Pelayanan Penerbangan (Jp2); Jasa Pelayanan, Penempatan dan Penyimpanan Pesawat Udara (JP4U); Jasa Pelayanan Penumpang Udara (JP2U); dan Pemakaian Aviobridge & Counter.
Pendapatan non aeronautika adalah pendapatan yang didapatkan dari pengusaha jasa yang menunjang penerbangan. Beberapa jenis pendapatan dari non aeronautika di antaranya: penyewaan gudang, lahan, ruangan, serta fasilitas lainnya.
Kegiatan konsesioner; parkir kendaraan; pas bandara; penyediaan lahan bangunan, lapangan, dan industri, serta bangunan yang berhubungan dengan kelancaran angkutan udara; periklanan; pergudangan dan kargo; Ground Handling; dan usaha lainnya yang terkait dan yang akan menggunakan fasilitas dan pelayanan bandar udara.
Pendapatan aeronautika yang terkait dengan potensi ruang udara indonesia adalah Jasa pelayanan penerbangan (Jp2). Jp2 ini meliputi pelayanan penerbangan domestik yang meliputi pelayanan rute navi- gasi udara (route air navigation services), dan penerbangan internasional yang meli- puti pelayanan rute navigasi serta terbang lintas (overflying). perum Lppnpi mengelola seluruh ruang udara indonesia yang dibagi menjadi 2 (dua) Flight Information Region (Fir).
Total Luas FIR = 2.219.629 Km2 ; Luas Wilayah = 1.476.049 Km2, dengan Jumlah Lalu Lintas penerbangan : > 10.000 Movement / hari.
Peraturan pemerintah (pp) no. 11 tahun 2015 tentang Jenis Dan tarif atas Jenis penerimaan negara Bukan pajak (pnBp) berlaku pada Kementerian perhubungan telah ditetapkan, peraturan tersebut mengatur tarif pnBp jasa transportasi udara, laut, darat, kereta api, pendidikan dan latihan serta jasa penggunaan sarana dan prasarana dan denda administratif. Dalam Lampiran pp no 11 tahun 2015, disebutkan di jasa transportasi udara, terdapat 23 jenis pnBp dan rincian tarifnya.
Jenis BNPB dibidang transportasi udara adalah: pelayanan Jasa penerbangan (pJp) yang terdiri atas unit penyelenggara Bandar udara meliputi pelayanan Jasa navigasi penerbangan terminal (Terminal Naviga- tion Charge) dan penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan.
Tarif pelayanan jasa navigasi penerbangan terminal bagi penerbangan domestik untuk precision ap- proach per maximum take-off weight dengan tarif sebesar rp. 5.500, non-precision approach per maximum take-off weight Rp 10.000,- dan flight information service per maximum take-off weight Rp 50.000
Sedangkan penerbangan internasional, tarif pelayanan jasa penerbangan untuk preci- sion approach service per maximum take-off weight usD.0.67, non-precision approach per maximum take-off weight usD. 1.21 dan flight information service per maximum take-off weight usD.6.06.
Tarif pelayanan Jasa navigasi penerbangan Jelajah (Enroute Charge) untuk pener- bangan domestik per route unit sebesar 15 persen dari biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan jelajah domestik, tarif pener- bangan jelajak internasional per route unit 10 persen dari biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan jelajah internasional dan pener- bangan lintas (overflying) tarif per route unit sebesar 10 persen dari biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan jelajah lintas.
Perum LPPNPI atau airnav indonesia mencatat Bandara internasional soekarno- Hatta merupakan bandara terpadat di kawasan ASEAN. Direktur operasi airnav indonesia Wisnu Darjono, dalam pernyata- anya di kegiatan Media Gathering Desember 2016 mengatakan jumlah pergerakan pesawat (movement) Bandara soekarno-Hatta pada 2015 sebanyak 1.040 pesawat per hari atau sekitar 43 movement per jamnya. Jumlah tersebut lebih tinggi dibanding Bandara Kuala Lumpur-Malaysia, Changi-Singapura.
Untuk movement di Bandara Kuala Lumpur, Malaysia tercatat hanya sebanyak 971 per hari (40/ jam). Sementara itu, Bandara Changi, singapura mencapai 948 per hari (39/jam) dan Bandara suvarnabhumi, thailand sebanyak 868 per hari (36/jam).
Meski demikian sebelum diambil alih pengelolaan navigasi oleh airnav indonesia, General Man- ager Air Traffic Services (ATS) PT. Angkasa pura II (persero) khusus Bandar udara internasional soekarno-Hatta, saryono men- gatakan bahwa pendapatan dari pengelolaan navigasi di ats Bandar udara internasional soekarno-Hatta mencapai Rp 23 miliar sampai Rp 27 miliar per bulan. Pendapatan dari ats ini termasuk pendapatan aeronautika. (sumber: bisnis.com 18/10/2012).
Menurut Kepala Bandara internasional Hang nadim Batam, suwarso bahwa pendapatan negara dari lalu lintas pesawat komersial di ruang udara Batam yang masih dikendalikan singapura ditaksir mencapai Rp 2,4 miliar per bulan.
Angka itu didapat dari jumlah penerbangan pesawat di Bandara internasional Hang nadim Batam Nadim sekitar 68-70 flight termasuk penerbangan internasional Malaysia.
Jumlah tersebut juga belum termasuk penerbangan dari Bandara raja Haji Fisabilillah, Kota tanjungpinang, dan Bandar udara di natuna. potensi pendapatan negara itu ditargetkan dapat meningkat apabila pemerintah RI mengambil alih ruang udara Blok a,B,C dari pemerintah singapura. (metrot- vnews.com, 2016).
General Manager Makassar atsC airnav Indonesia Novy Pantaryanto mengatakan bahwa pendapatan pada tahun 2016 diproyeksikan sebesar rp.1 triliun sehingga tumbuh hingga 15% dibandingkan capaian tahun 2015. Dimana sebagian besar pendapatan tersebut atau 70% berasal dari penerbangan internasional yang melintasi wilayah Indonesia bagian timur.
Dalam satu hari setidaknya terdapat 1.500 pergerakan penerbangan yang melintasi area Makasar atsC, sedangkan sisanya atau 30% pendapatan perseroan berasal dari pener- bangan domestik yang mendarat maupun terbang dari Bandara internasional sultan Hasanuddin, Makasar. (koran-sindo.com, 2016).
Direktur utama airnav indonesia, Bambang tjahjono mengatakan bahwa di tahun 2016, airnav indonesia mengalo- kasikan investasi sebesar rp. 2,2 triliun untuk pengadaan radar, Instrument Landing System (iLs) dan bangunan tower. Dimana pengadaan lima radar baru akan di pasang di bandara soekarno-Hatta sebanyak 2 unit untuk mengganti radar yang sudah berusia 32 tahun, sisanya akan di pasang di pekanbaru, padang dan Yogyakarta. untuk pengadaan iLs akan dipasang di 13 bandara dan meng- ganti iLs lama di 16 bandara.
Untuk bangunan tower akan dibangun total sebanyak 16 tower baru, dimana 8 tower sudah dalam tahap pengerjaan fisik dan 8 tower dalam tahap perencanaan.
Berdasarkan fakta-fakta diatas jelas bahwa ruang udara indonesia (apabila) dikelola dengan baik akan dapat memberikan peluang tambahan pendapatan negara dari lalu lintas pesawat komersial baik domestik maupun internasional yang melintas di atas ruang udara di wilayah NKRI.
Pemerintah RI harus jeli melihat adanya peluang dan potensi dari ruang udara indonesia sebagai sumber pendapatan dan devisa negara sehingga pemerintah ri mengalokasikan dana yang begitu besar dalam investasi SDM infrastruktur dan teknologi kepada airnav Indonesia.
Presiden Joko Widodo menetapkan target dalam waktu 3 sampai 4 tahun sejak tahun 2015 dimana pemerintah ri akan mengambil alih kontrol ruang udara indonesia di wilayah Batam, tanjung pinang dan natuna yang selama ini dikontrol oleh Pemerintah Singapura.
Artikel ini sebelumnya terbit di Majalah Aviasi Edisi 99 Tahun 2017.
[***]