KedaiPena.Com – Sistem liberal di Amerika Serikat sangat kompetitif. Sistem ini memiliki sistem pendanaan yang berbeda dengan Indonesia. Makanya setiap orang bisa muncul menjadi calon pemimpin.
Sementara itu, dalam sistem komunis, memiliki pola seleksi kepemimpinan yang sangat ketat dan kompetitif. Seseorang harus merangkak dari bawah untuk naik tingkat dan memimpin.
Demikian dikatakan tokoh nasional Rizal Ramli di Jakarta, ditulis Minggu (14/8/2022).
“Jadi, dua sistem ini menghasilkan pemimpin yang unggul yang hebat, sehingga negaranya bisa jadi besar,” kata dia.
Sementara, lanjut Rizal, sistem di Indonesia menumbuhkan boneka-boneka dari bandar. Sehingga Indonesia tidak dapat pemimpin yang bagus di level bupati, gubernur dan presiden.
“Makanya, walaupun potensi Indonesia luar biasa, rakyatnya tetap gembel, karena kualitas pemimpinnya tidak amanah,” kecewa Rizal.
“Kalau Jokowi gagal diperpanjang, ada boneka baru yang bisa diatur, sudah ada namanya. Kalau kita lihat karakternya ini Jokowi KW2, Jokowi aja payah apalagi KW2-nya,” lanjut eks penasehat ekonomi PBB ini.
Calon pengganti yang diunggulkan oligarki ini tidak punya karakter. Mereka cuma memanfaatkan sosial media seperti Tiktok. Lalu menggunakan polster yang dibayar, poling yang di bayar.
“Sehingga Indonesia akan di tipu lagi oleh model kepemimpinan ini itu. Kenapa kita harus jebolkan ‘treshold‘? Supaya yang baik, yang pinter, yang punya karakter, bisa maju jadi pemimpin. Bahwa perjuangan ini tidak gampang,” paparnya.
Threshold atau ambang batas pencapresan, imbuh Rizal, untuk melawan oligarki yang mencengkeram partai politik. Dalam sistem presidential threshold 20 persen, sebenarnya yang menentukan munas parpol adalah oligarki.
“Seolah-olah munas parpol itu demokratis tapi di dalam buntutnya konsultasi juga. Biaya politik di Indonesia jadi sangat mahal. Untuk jadi bupati, (mahar politik) satu partai Rp20 miliar. Kalau tiga partai ya Rp60 miliar. Untuk jadi gubernur, butuh sekitar Rp100-300 miliar,” jelas eks penasehat ekonomi PBB ini.
“KPK mengatakan, bupati atau walikota yang korupsi ada sekitar 160-an. Sementara 22 dari 33 gubernur masuk ke penjara gara gara korupsi. Karena semua calon ini tidak punya uang buat bayar upeti, sehingga mereka perlu cari bandar atau cukong, dan harus mengembalikan modal,” tandas RR.
Laporan: Muhammad Lutfi