KedaiPena.Com – Optimisme diperlukan baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bernegara. Optimisme memberikan harapan yang lebih baik untuk masa mendatang. Presiden Joko Widodo memang memberikan optimisme pada tahun 2014. Tapi saat ini tidak.
Demikian disampaikan tokoh nasional Rizal Ramli di Jakarta, Senin (25/2/2019).
“Bayangkan seorang yang berasal dari keluarga biasa bisa menjadl walikota, gubernur, bahkan presiden,” kata RR, sapaan Rizal.
Saat menjadi presiden pun dengan gaya dan penampilan yang sederhana. Bukan hanya itu, Presiden Widodo, kini Rizal memanggil Jokowi, berjanji untuk memperjuangkan trisakti, mencapai kedaulatan pangan, energi dan keuangan.
“Empat tahun lewat, ternyata tebaran optimisme Pak Widodo makin lama makin memudar. Bahkan banyak hal, harapan akan kehidupan yang lebih baik makin memudar,” kata eks penasehat ekonomi PBB ini.
Ekonoml stagnan di 5 persen, daya beli rakyat merosot. pengurangan kemiskinan terendah sejak reformasi. Presiden Widodo hanya mengurangi 450.000 orang miskin per tahun. Bandingkan dengan era Presiden Gus Dur yang berhasil menurunkan kemiskinan 5,05 juta orang pet tahun, Habibie 1,5 juta orang per tahun. Mega 570.000 orang per tahun dan SBY 840.000 orang per tahun.
“Rendahnya penurunan kemiskinan masa Widodo karena garis ekonominya yang meninggalkan Trisakti, terutama karena kebijakan impor yang ugal-ugalan dan penghapusan subsidi listrik 450 VA dan 900 VA. Tambahan pula, risiko makro ekonomi semakin meningkat selama 2 tahun terakhir,” tegas ekonom senior ini.
“Boro-boro kedaulatan pangan tercapai, yang terjadi justru impor ugal-ugalan yang sangat merugikan petani. Boro-boro kedaulatan keuangan tercapai, yang terjadi justru utang yang semakin besar, dengan yield yang merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Pasifik,” begawan ekonomi ini menambahkan.
Risiko makro ekonomi Indonesia meningkat selama 2 tahun terakhir dalam bentuk defisit neraca perdagangan (8,57 miliar dolar AS pada 2018) dan defisit transaksi berjalan (USD 4,1 miliar dolar AS pada quartal keempat 2018). Defisit transaksi berjalan pada tahun 2018 adalah yang terburuk dalam 4,5 tahun terakhir.
“Kegagalan Widodo untuk mencapai kedaulatan pangan dan kedaulatan keuangan terjadi karena tidak adanya konsistensi antara tujuan, strategi, kebijakan dan personalia. Tujuan untuk mencapai swasembada pangan dikhianati dengan kebijakan impor ugal-ugalan dan penunjukan pejabat yang doyan rente (rent seekers),” papar dia.
Demikian juga halnya tujuan kemandirian keuangan dikhianati dengan kebijakan pinjaman luar negeri yang jor-joran dan penunjukan pejabat keuangan yang doyan memberikan yield tinggi, yaitu 2-3 persen di atas negara yang ratingnya lebih rendah dari Indonesia seperti Filipina dan Vietnam.
“Selain sifatnya kriminal, kebijakan ini juga dilakukan semata-mata demi glorifikasi pribadi,” lanjutnya.
Laporan: Muhammad Hafidh