KedaiPena.Com – Ekonom senior Rizal Ramli dituding rasis ketika dalam acara ILC TVONe, 21 April lalu. Padahal ia meminta rezim Jokowi berhenti menjadi antek Cina.
Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDE) menilai tidak ada yang salah dari pernyataan Rizal Ramli. Sebab, pernyataannya merujuk Cina sebagai negara, bukan ras.
“Dan kenyataannya, Indonesia di bawah rezim Jokowi yang dikomandai Opung Luhut memang telah menjadi antek atau kaki tangan Cina,” tegas Smith dalam keterangan yang diterima redaksi, Sabtu (25/4/2020).
Ia menilai pembiasan makna yang dilakukan para pendengung di dunia maya sudah menjadi kebiasaan. Para buzzer di media sosial membuat interpretasi aneh atas ucapan intelektual dan tokoh oposisi yang dipersepsi dapat menggoyang rezim yang mereka puja.
“Interpretasi yang diniatkan untuk membunuh karakter tokoh itu. Kali ini serangan ditujukan kepada intelektual yang ucapan dan tindakannya dijadikan rujukan barisan oposisi,” jelas dia.
Katanya lagi, hampir semua kebijakan ekonomi dan politik rezim berorientasi pada persetujuan dan kepentingan Republik Rakyat Cina. Ini bertujuan menarik sebesar mungkin investasi Cina.
“Fakta-fakta keras itulah yang membuat Rizal Ramli menarik kesimpulan Indonesia telah menjadi budak Cina. Dan mendesak rezim Jokowi membalik haluan untuk tidak lagi berorientasi ke Beijing dan kembali ke jati diri sebagai bangsa yang mandiri dalam menjalankan politik luar negerinya, sebagaimana dirumuskan para ‘founding fathers‘, politik bebas aktif,” lanjutnya.
Pandangan Rizal Ramli itu adalah pandangan kebangsaan. Sama sekali jauh dari rasisme. Kenyataannya, istri RR adalah keturunan Tionghoa dan sangat banyak teman-temannya berasal dari etnis ini. Memang RR dikenal sebagai seorang pluralis yang dapat dilihat dari beragamnya orang di sekelilingnya.
“Anak-anak angkat pun berasal dari golongan Protestan dan Katolik. Tak salah kalau ia menuduh para buzzer itu norak,” seru dia.
Yang RR tuding itu bukan etnis Tionghoa tapi negara Cina yang dipimpin Presiden Xi Jinping. Lagi pula sebutan Cina bagi WNI keturunan di negeri ini telah dihapus secara resmi pada era SBY untuk digantikan dengan sebutan Tionghoa atas permintaan warga keturunan Cina di negeri ini.
“Thus, tiap kali orang Indonesia menyebut kata Cina, maka yang dimaksud adalah negara RRC,” tegasnya.
Pernyataan RR itu harus diletakkan pada konteks acara itu. Sikap kebangsaannya terlihat ketika ia membandingkan Indonesia dengan Vietnam, Meksiko, dan India. Ia mengutip analisis banyak pihak internasional bahwa ketiga negara itu akan menjadi super power dalam sepuluh tahun ke depan.
“Ketiga negara ini memang kental nasionalismenya, yang seluruh kebijakannya berorientasi ke dalam, yakni demi kepentingan negeri sendiri,” Smith Alhadar melanjutkan.
Menurut analisis tersebut yang sejalan dengan pandangan RR, bahwa Indonesia bisa menyodok ke urutan keempat kalau rezim Jokowi mengikuti langkah mereka. Yaitu, mereorientasi politik luar negeri yang tidak lagi pro-Cina dan melepaskan diri dari jerat ketergantungan pada negeri tirai bambu itu, serta pemimpin negara dikelilingi ekonom-ekonom hebat.
“Kita tidak harus setuju dengan sikap dan pandangan RR. Yang kita tolak adalah tuduhan bahwa RR rasis. Tuduhan ini nampaknya disengaja, sebagaimana kebiasaan buzzer menjungkirbalikkan logika, untuk membunuh karakter orang-orang yang kritis terhadap rezim,” Smith menjelaskan.
Bagaimanapun, tuduhan serampangan para buzzer ini tidak muncul dari ruang hampa. Malah menunjukkan sensitivitas buzzer terhadap situasi krisis saat ini. Situasi yang mengancam eksistensi rezim akibat porak-porandanya ekonomi negara dihantam Covid-19.
“Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup rezim inilah yang membuat mereka menyerang secara membabi buta siapa pun yang mencolek rezim,” tandasnya.
Laporan: Muhammad Lutfi