SABTU 30 April kemarin, Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli (RR) berbicara di Gedung Merdeka, Bandung, dalam ‘’Indonesia Youth Speak Summit 2016’’. Acara tersebut merupakan rangkaian peringatan Konferensi Asia Afrika.
Dikatakannya bahwa untuk menjadi negara yang hebat maka rakyatnya harus bisa menguasai laut. RR tentu bukan sedang mengulang perkataan para admiral laut Inggris yang menjelajahi samudera beberapa abad yang lalu untuk menjajah bangsa-bangsa di dunia.
Dengan perkataannya itu Rizal Ramli sesungguhnya sedang mengajak kita supaya punya keberanian untuk mengoreksi sejarah. Sukarno, Jokowi, Gus Dur, adalah orang-orang yang punya keberanian mengoreksi sejarah.
Dan benar seperti kata Jokowi bangsa ini memang sudah terlalu lama memunggungi laut. Dalam sejarah perkembangan bangsa, konstruksi NKRI sebagai ‘archipelagic state’ atau negara yang mestinya berbasis maritim telah berkembang jadi negara yang berorientasi darat.
Kondisinya persis seperti zaman Hindia Belanda dulu yang berbasis darat. Kejayaan maritim Nusantara dengan para leluhur kita yang merupakan para pelaut ulung jatuh dan dilumpuhkan oleh berdirinya VOC (1602). VOC sendiri kemudian runtuh akibat korupsi dan gaya hidup mewah para pegawainya.
Maskapai dagang monopolistik yang menguasai jalur laut perdagangan dunia itu bubar dengan meninggalkan banyak utang dan para kriminal. Pasca kekuasaan VOC penguasa kolonial Belanda di Nusantara dinamakan Hindia Belanda. Ketahanan laut Hindia Belanda sangat lemah.
Waktu Inggris datang Hindia Belanda dilumpuhkan lewat laut. Raffles berkuasa. Tahun 1942 Hindia Belanda bertekuk lutut oleh serbuan armada laut tentara Jepang yang masuk lewat Banten dan terus mengusai Jawa sampai ke ujung Timur.
Kekuasaan Belanda di tanah air dengan mudah ditekuk oleh tentara Jepang. Itu karena ketahanan lautnya lemah, sehingga saking lemahnya tentara Jepang yang tidak punya reputasi di lautan dengan gampang melucuti tentara Belanda yang sedang berkuasa di tanah air.
Sukarno, Jokowi, Gus Dur melakukan koreksi terhadap sejarah melalui visi maritim mereka masing-masing. Tahun 1960-an armada laut kita terbesar di Asia Tenggara. Sukarno melakukan Diplomasi Maritim dengan lincah; dengan Rusia, China, Amerika, serta negara-negara Eropa Timur.
Kedaulatan dan ketahanan laut kita saat itu jadi macan di Asia. Sukarno yang pro kerakyatan digelari Nelayan Agung karena cita-cita dan orientasinya membangun kesejahteraan negeri ini melalui laut.
Pasca Soeharto dan Habibie lengser, Gus Dur meneruskan visi maritim Sukarno. Visi maritim Sukarno dan Gus Dur itu kini diteruskan oleh Jokowi yang didukung penuh oleh sosok visioner Rizal Ramli, dalam posisinya sebagai Menko Maritim dan Sumberdaya.
Dalam berbagai kesempatan RR hampir tidak pernah luput menyuarakan keberpihakannya terhadap elemen-elemen kemaritiman seperti pembelaannya terhadap nasib para nelayan, sikap kritisnya terhadap eksploitasi asing kepada kekayaan laut Nusantara.
Bahkan RR mendukung penuh langkah koleganya di kabinet, Menteri KKP Susi Pudjiastuti, yang melakukan penenggelaman kapal-kapal asing pencuri ikan di laut Nusantara, yang terbukti melanggar hukum dan kedaulatan laut Nusantara.
Keberanian untuk mengoreksi sejarah memang sangat dibutuhkan kalau negeri dan bangsa ini berkeinginan mengejar berbagai ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain. Dalam catatan penulis setidaknya ada tiga hal yang menjadi bahan koreksi.
Pertama, orientasi pembangunan nasional dengan segala aspeknya yang selama ini berafiliasi darat perlu dikaji dan dievaluasi apakah sesuai dengan cita-cita kita dalam berbangsa dan bernegara. Terutama dalam cita-cita ideal Ipoleksosbud-Hankamnas.
Kedua, mindset darat harus diubah menjadi mindset maritim, melalui Tri Sakti dan Nawa Cita, karena itu dibutuhkan figur-figur yang memiliki visi kemaritiman yang kuat dengan tipe operational leadership, sebagaimana yang dicontohkan oleh Dr Rizal Ramli selaku Menko Maritim dan Sumberdaya.
Ketiga, mengubah orientasi ekonomi yang selama ini dominan ke darat diubah menjadi berorientasi laut.
Insya Allah, cita-cita luhur ini tercapai. Semoga timah menjadi besi, besi menjadi baja, dan menjadi tekad yang kuat tak berkarat.
Semoga Tuhan meluruskan niat dan menyempurnakan ikhtiar kita sebagai bangsa. Dan seperti kata pepatah, mungkin kini memang sudah waktunya untuk kita: ‘’Bersandar Pada Gunung Memandang Lautan…’’
Oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior