KedaiPena.Com – Begawan Ekonomi Kerakyatan Rizal Ramli angkat suara atas sikap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyatakan kinerja penerimaan pajak pada mayoritas sektor ekonomi melemah. Kondisi tersebut tercermin dari realisasi penerimaan pajak hingga kuartal III kemarin.
Selama ini, menurut Rizal Ramli, ‘tax ratio’ rendah lantaran tim ekonomi hanya menghabiskan energi untuk menguber wajib pajak yang kecil-kecil dan menengah. Hal itu sudah ia ingatkan sejak lama.
“Akibatnya realisasi penerimaan pajak kita tidak mencapai target. Sampai akhir Desember 2019 diperkirakan hanya akan terkumpul 82-85 % dari 1.577, 56 triliun yang dipatok pada APBN 2019,” kata Rizal mengingatkan lagi.
Rizal mengusulkan agar tim ekonomi serius mengejar big fish atau wajib pajak besar, korporasi besar, dan perusahaan asing yang selama ini beroperasi di Indonesia.
“Toh pemerintah di negara asal para korporasi itu sangat-sangat tegas dalam soal pajak. Tim ekonomi, harus lebih kreatif dari sekedar ngutang doang,” lanjutnya di Jakarta, Selasa (6/11/2019).
Tidak sampai situ, lesunya pertumbuhan ekonomi Indonesia kini pun diproyeksi oleh sekuritas-sekuritas besar. Mereka menilai, bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.
“Melansir konsensus Bloomberg, JPMorgan Chase memproyeksikan ekonomi Indonesia 2019, tumbuh 4,9% sementara proyeksi Deutsche Bank level 4,8%,” Rizal melanjutkan.
“Kita jadi bertanya-tanya apakah ini ‘Kabinet Maju’ atau ‘Kabinet Atret (achterwaarts) alias Mundur’?,” katanya bertanya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan kinerja penerimaan pajak pada mayoritas sektor ekonomi melemah. Kondisi tersebut tercermin dari realisasi penerimaan pajak hingga kuartal III kemarin.
Data Kementerian Keuangan, terdapat lima dari enam sektor ekonomi yang mengalami perlambatan setoran pajak. Sektor tersebut adalah, industri pengolahan, perdagangan, jasa keuangan dan asuransi, pertambangan, serta konstruksi dan real estate.
Dari penjelasannya, Sri melaporkan bahwa realisasi penerimaan pajak dari sektor usaha industri pengolahan mencapai Rp245,6 triliun, tumbuh negatif 3,2 persen. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu sektor tersebut mampu tumbuh 11,7 persen.
Menurut Sri pelemahan terjadi karena faktor restitusi yang tumbuh 30,2% dan realisasi PPN dan PPh impor yang terkontraksi sebesar 7,2 persen. Kemudian, realisasi penerimaan sektor perdagangan mencapai angka Rp176, 2 triliun
Sektor ini hanya tumbuh 2,8 persen, jauh lebih rendah dari periode tahun lalu yang masih bisa mencapai 25,8 persen.
Selanjutnya, penerimaan dari sektor jasa keuangan dan asuransi mencapai Rp120, 6 triliun. Realisasi tersebut hanya tumbuh 4,9 persen atau lebih rendah dari kinerja tahun lalu yang mampu tumbuh 9,5 persen.
Lebih lanjut setoran pajak dari sektor konstruksi dan real estate yang mencapai Rp56, 2 triliun. Realisasi tersebut tercatat tumbuh negatif sebesar 1,2 persen.
Padahal, pada tahun sebelumnya sektor konstruksi dan real estate mampu tumbuh 11,9 persen. Sementara itu, sektor pertambangan yang realisasi penerimaannya sebesar Rp43,2 triliun.
Realisasi sektor ini memiliki kinerja paling loyo dibanding sektor lainnya. Pasalnya, pertumbuhan penerimaan sektor tersebut negatif 20,6 persen.
Pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan setoran tahun lalu yang masih tumbuh 69,9 persen.
“Dari sektor pertambangan dapat terlihat perusahaan mengalami tekanan dan revenue mereka menurun yang akhirnya membuat pembayaran pajak mereka turun,” dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (4/11)
Dari keenam sektor, hanya usaha transportasi dan pergudangan yang masih mengalami peningkatan pertumbuhan setoran pajak. Realisasi penerimaan sektor ini tercatat mencapai Rp36, 3 triliun atau tumbuh 18,9 persen.
Sementara pertumbuhan sektor transportasi dan pergudangan ini meningkat dari setoran tahun lalu yang mencapai 12,6 persen.
Selain perkembangan penerimaan negara yang belum menggembirakan, Sri Mulyani juga mengatakan kondisi kurang mengenakkan juga terjadi pada kondisi ekonomi. Kondisi tersebut terutama terkait gejolak dan keresahan yg terjadi dan dihadapi oleh ekonomi global yang diramalkan akan berpengaruh ke kondisi APBN.
“Tahun 2019 perekonomian dunia mengalami tekanan yang cukup berat,” katanya.
Menurut Sri, tekanan tersebut diramalkan akan menurunkan kinerja ekonomi dunia. Penurunan tersebut terlihat dari proyeksi ekonomi global yang dilakukan sejumlah lembaga dunia.
“Risiko global yang perlu kita waspadai adalah perang dagang. Meski ada berita akan negosiasi, namun dia masih menyelimuti ketidakpastian global,” ungkapnya.
Sri Mulyani mengatakan kalau tekanan tersebut tidak berkurang, kinerja sektor manufaktur dan investasi dalam negeri juga akan mengalami perlambatan.
“Eropa, Inggris, Jepang, dan India sekarang merosot cukup tajam dimana sekarang ada di kisaran 5 persen. Thailand dan Filipina juga begitu. Jadi di dunia mengalami perlambatan dan itulah yang harus kita waspadai,” tuturnya.
Laporan: Muhammad Lutfi