Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
PADA Maret 1933 Bung Hatta bersama sang paman, Ayub Rais, yang dikenal sebagai presiden direktur perusahaan Djohan Djohor berkunjung ke Jepang.
Dalam lawatan yang disebutnya tidak bersifat politis itu Hatta meninjau salah satu sekolah kejuruan industri di sana.
Ia melihat workshop para mahasiswa Jepang membongkar sebuah mobil Ford buatan Amerika, lalu memasangnya kembali dengan baik dan tepat.
Melihat ini Hatta berkata: “Ditiru lebih dahulu dan kemudian dibuat sendiri dalam bentuk yang diperbaiki. Justru cara seperti itulah yang merupakan rahasia Jepang yang dapat menyusul Barat.”.
Sebagai ekonom muda yang kelak memimpin bangsa waktu itu Hatta sangat menaruh perhatian terhadap modernisasi dan industri negara-negara yang sedang dalam proses kemajuan.
Di majalah Daulat Rakjat pada awal tahun 1930-an Hatta banyak mengemukakan pandangan-pandangannya yang bersifat outward looking, baik terhadap Barat maupun Asianisme.
Ia menekankan pentingnya strategi untuk kemajuan industri dan modernisasi di Indonesia, dengan basis ketahanan dan kedaulatan nasional.
Di akhir lawatannya selama sekitar satu bulan itu Hatta kemudian menuliskan pengalamannya mengenai potensi Jepang untuk menguasai Asia dengan modal ketahanan, kedaulatan, dan kemampuan dalam melakukan inovasi.
Tokoh-tokoh intelektual di lapangan pergerakan kemerdekaan bangsa pada masa itu umumnya memang berpikiran outward looking.
Djamaludin Adinegoro yang mengenyam pendidikan jurnalistik dan kartografi di Barat, pada 1950, menuliskan satu buku berjudul Bayangan Pergolakan Dunia.
Esensinya berisi tinjauan yang bersifat inward looking dan outward looking, perdamaian dunia, perlunya ketahanan dan kedaulatan di dalam negeri, serta tinjauan mengenai “hak azasi manusia di zaman atom”.
Sjam Ratu Langie ahli fisika dan matematika menyumbangkan pemikirannya mengenai posisi Indonesia di Asia-Pasifik, melalui sebuah buku berjudul Indonesia di Pasifik: Analisa Masalah-masalah Pokok Asia-Pasifik.
Buku yang ditulis pada tahun 1930-an itu menekankan pentingnya ketahanan dan kedaulatan negara, potensi perang dunia karena perebutan sumber-sumber ekonomi, hingga posisi Indonesia di Asia-Pasifik.
Salah satu chapter buku itu berjudul “Indonesia Sebagai Negeri Konsumen”.
Pandangan para tokoh ini dan mereka yang seangkatan dalam memperjuangkan kemerdekaan dalam bahasa Belanda disebut voorbij de tijd atau melampaui zaman.
Karena umumnya mereka mampu melakukan forecasting, analisis, mendefinisikan persoalan, dan menentukan aspek-aspek penting yang dibutuhkan oleh sebuah negara dalam menghadapi suatu masalah untuk mempertahankan eksistensinya.
Itulah sebabnya dalam konteks hari ini di tengah kebangkrutan perekonomian nasional yang berdampak pada kesengsaraan rakyat, pudarnya kedaulatan negara di semua sektor, keterpurukan bidang teknologi, ambruknya indeks demokrasi, hingga ketidakmampuan pemimpin boneka dalam mengelola negara dan bangsa, tokoh nasional Dr Rizal Ramli merasa perlu menekankan kembali pentingnya ketahanan dan kedaulatan nasional dalam mempertahankan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Rizal Ramli di dalam akun Twitter-nya baru-baru ini menulis:
“Perkembangan dunia kini cepat berubah. Pemimpin negara dituntut harus responsif dalam menyikapi keadaan yang terjadi dewasa ini.
Negara yang mampu bertahan dan berjaya, ialah negara yang memiliki ketahanan pangan, kedaulatan energi, teknologi, dan cadangan devisa yang kuat. Jika tidak, akan menjadi korban dan terkena dampaknya”.
Nyatanya inilah yang terjadi dan sedang dialami oleh bangsa ini sekarang.
Yang dengan lancung dijawab oleh segelintir petualang politik kaki tangan oligarki dengan meminta perpanjangan masa jabatan presiden boneka, melalui pengunduran waktu pelaksanaan Pilpres 2024.
[***]