Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Ada yang menarik dari buku “Bunga Rampai dari Sejarah” yang berisi kumpulan tulisan Wakil Perdana Menteri dan Menlu RI, Mohamad Roem, di sejumlah suratkabar pada era tahun 1960-an.
Salah satunya adalah artikel yang mengulas otobiografi Sukarno, berjudul “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, terbitan tahun 1966.
Dalam ulasan di Harian Abadi edisi 15-18 Februari 1969 yang dimuat di buku tersebut, Mohamad Roem mengungkapkan rasa bangga Sukarno kepada anak-anaknya yang memiliki bakat seni.
Di antaranya Rachmawati dan Megawati yang pandai menari. Sedangkan Guntur mahir menyanyi dan bermain musik serta memimpin group band sendiri.
Sukarno memang kerap membanggakan Guntur dan Megawati termasuk dalam pidatonya di depan publik.
Di buku “Wedjangan Revolusi”, yang pertamakali diterbitkan Juni 1965, misalnya, Sukarno menyebut Guntur
de appel valt niet ver van de boom (buah yang jatuh tak jauh dari pohon).
“Guntur suka kepada ilmu elektris. Ia ingin menjadi ahli elektris, dan dia sekarang di ITB,” kata Sukarno.
Adapun Megawati disebut Sukarno sangat ingin menjadi insinyur pertanian. Dalam gurauan sebagai seorang ayah Sukarno juga berpesan:
“Dis, Gadis, jangan engkau kawin sama pemuda yang tidak bercita-cita, meskipun rupanya seperti Robert Taylor”.
Meski demikian, menurut Mohamad Roem di buku “Bunga Rampai dari Sejarah” Sukarno mengaku menyerahkan kepada anak-anaknya untuk memilih jalan kehidupan masing-masing.
“Cuma satu doaku untuknya, semoga dia tidak terpilih menjadi presiden. Kehidupan itu sungguh terlalu berat,” tandas Sukarno. (Halaman 181).
Sukarno yang merupakan antitesa dari kolonialisme dan feodalisme yang pada era 1960-an dikecam oleh lawan-lawan politiknya karena hanyut dalam kultus individu ternyata tidak berambisi mewarisi jabatan presiden kepada anak-anaknya.
Meski jalan sejarah akhirnya menempatkan Megawati jadi presiden kelima RI.
Obsesi Sukarno yang sesungguhnya adalah Trisakti yang sampai kini tidak pernah kesampaian, karena oleh rezim boneka saat ini Trisakti hanya dipakai sebagai topeng.
Tentang penguasa boneka yang mengkhianati kepentingan rakyat ternyata Sukarno pernah menyinggungnya dalam pidato Amanat Tahunan, di tahun 1962:
“Dimana ada perjuangan yang tidak menjumpai boneka? Pasar imperialis penuh dengan boneka-boneka, dan engkau bisa beli mereka dengan harga setalen sepotong. Boneka-boneka itulah yang akan disapu-bersih oleh perjuangan para patriot, atau ditendang ke dalam timbunan sampahnya sejarah”.
Apa sebenarnya esensi dari Trisakti yang kini hanya dijadikan topeng oleh penguasa boneka?
“Indonesia yang merdeka dan berdaulat mutlak memiliki tiga hal. Yaitu berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Itu yang Bung Karno maksud dengan Trisakti.” tandas Maulwi Saelan dalam buku “Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Sukarno”.
Tokoh nasional Rizal Ramli yang memiliki pertalian sejarah dengan Sukarno karena sejak belia menempuh jalan idealisme Sukarno, dan oleh banyak kalangan dipandang merupakan murid ideologis Sukarno turut pula berpendapat, bahwa ideologi Sukarno saat ini hanya dijadikan pidato dan slogan belaka.
Menurutnya, sejauh ini belum ada upaya sistematis untuk melaksanakan ajaran Sukarno. Yang terjadi justru malah sebaliknya.
“Sekarang adalah waktunya untuk melaksanakan ajaran Bung Karno untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat,” tegas Rizal Ramli di akun twitter-nya belum lama ini.
Dalam konteks capres 2024 di tengah semakin ditinggalkannya pendidikan karakter yang berganti dengan branding pencitraan, Rizal Ramli menilai Megawati tidak akan tergoda untuk mengusung figur capres yang kerap hanya ditampilkan dalam hasil-hasil survei dan polling-polling berbayar untuk tujuan elektabilitas dan popularitas belaka.
Tanpa memiliki kemampuan problem solvers dan kesanggupan untuk mengkonkretkan kebijakan dan visi Sukarno tentang Trisakti.
Megawati sendiri sebagai trah sejati Sukarno sesungguhnya mengemban tugas sejarah untuk mewujudkan amalan dari wasiat Sukarno itu agar menjadi kenyataan.
Rizal Ramli dikatakan merupakan kembaran jiwa Sukarno tiada lain
karena kedua-duanya adalah tokoh pergerakan, mengalami pesemaian nasionalisme di kota yang sama yaitu Bandung, dan sama-sama menempuh pendidikan di ITB.
Keduanya merupakan patriot yang melawan penindasan ekonomi dan berbagai bentuk ketidakadilan, bahkan mengalami persamaan kepedihan riwayat pernah dijebloskan ke dalam bui di Penjara Sukamiskin dan mengalami berbagai tekanan rezim yang zolim.
Seperti halnya Sukarno Rizal Ramli telah menempuh Via Dolorosa, ialah jalan kepemimpinan yang tak mudah, yang dilalui dengan proses pembuktian keberpihakannya kepada mayoritas rakyat negeri ini.
[***]