DI ANTARA hak yang dimiliki oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda sewaktu berkuasa ialah hak Exorbitante Rechten, dengan hak ini sekali gebuk orang atau kelompok yang tidak disukai oleh penguasa dapat dikriminalisasi, ditangkap, difitnah, dizolimi atau diasingkan tanpa diadili.
Para tokoh pendiri bangsa yang membela kepentingan bumiputera dari penindasan kaum penjajah dulu banyak dikenakan oleh hukuman seperti ini. Diasingkan ke tempat-tempat yang jauh sebagaimana dialami oleh Sukarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Tiga Serangkai: Cipto Mangunkusumo-Ki Hadjar Dewantara-Danudirdjo Setiabudi, serta banyak tokoh lainnya.
Para tokoh lokal dalam cerita pemberontakan petani Banten, 1888, sebagaimana dikisahkan oleh guru utama sejarawan Indonesia Profesor Sartono Kartodirdjo, juga banyak mengalami nasib yang sama. Hak Exorbitante Rechten juga menjadi alat kriminalisasi tokoh-tokoh informal dalam perlawanan terbesar para petani terhadap ketidakadilan sistem pajak dan penjualan hasil tani, pasca Perang Jawa dan era Tanam Paksa itu.
Sukarno sendiri menjadikan petani sebagai salah satu soko guru politik. Basis ideologinya, Marhaenisme, diambilnya dari nama seorang petani miskin, Marhaen, sewaktu dia melakukan semacam tourney politik di Cigereleng, Bandung Selatan.
Dalam sebuah panen raya yang melimpah ruah ketika telah menjadi presiden, Sukarno sangat bersuka cita karena Indonesia mampu bertahan tidak mengimpor beras, sehingga ia menamakan salah satu jenis padi dengan nama Padi Marhaen.
Salah satu lambang dari Pancasila, yaitu padi dan kapas, merefleksikan tekad akan kemandirian bangsa Indonesia dalam bidang pangan dan sandang nasional.
Bagaimana hari ini ?
Nasib petani, petambak garam, termasuk nelayan, yang jasanya dimuliakan oleh Sukarno itu kini masih terabaikan. Bahkan PDIP yang notabene katanya mengemban ajaran Sukarno dan merupakan the ruling party terkesan tidak punya terobosan yang signifikan dan bukti nyata memihak kepada kepentingan kaum marjinal tersebut.
Kebijakan impor yang dilakukan Mendag Enggartiasto Lukita belakangan ini oleh banyak kalangan dinilai sangat merugikan petani, antara lain impor beras dilakukan pada masa panen raya dengan kuota yang dilebihkan, meski menurut Kepala Bulog Budi Waseso stok beras nasional aman hingga Juni 2019.
Para mafia impor sering secara sengaja melebih-lebihkan kuota impor untuk meraup keuntungan. Hal ini juga dikeluhkan oleh para petambak garam dan para petani tebu di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Para petani tebu mengeluh karena impor dilebihkan sekitar dua juta ton. Demikian pula halnya yang terjadi pada praktek impor garam.
Dalam suasana tidak adanya pembelaan dan keberpihakan yang jelas dari penguasa terhadap nasib kaum tani ini tokoh nasional Dr Rizal Ramli sudah sejak lama kerap melakukan tourney ke daerah-daerah untuk bertemu dengan kelompok-kelompok masyarakat terpinggirkan seperti petani, nelayan, petambak garam, dan lainnya.
Dalam pertemuan-pertemuan itu Dr Rizal Ramli mendengarkan banyak sekali keluhan, yang intinya berupa perlakuan tidak adil yang dialami oleh kaum tani, petambak garam, dan nelayan.
Suatu saat seorang petambak garam yang menggantungkan hidup dan masa depan keluarganya dari usaha garam sambil terisak mengadu kepada Rizal betapa merugikannya impor garam yang kuotanya digelembungkan sedemikian rupa, sehingga garam dari tambaknya tidak dapat terjual secara layak.
Akibatnya dua anaknya yang baru masuk bangku kuliah kini terancam tak dapat meneruskan pendidikan karena tidak adanya biaya.
Kejadian seperti ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh yang dialami oleh para petani, petambak garam, dan nelayan, yang bukan merupakan hal yang sulit untuk ditemukan faktanya di lapangan.
Tergerak oleh kesadaran sebagai tokoh pergerakan yang hatinya selalu dilekatkan di hati rakyat, dan intelektual yang memahami persoalan serta mampu memberikan solusi atas problem yang ada Rizal sudah sejak lama menyuarakan supaya pemerintah menghapus sistem kuota impor dan menggantinya dengan sistem tarif.
Namun saran Rizal yang secara esensi bakal menguntungkan kaum tani ini oleh penguasa seakan hanya dianggap bagaikan gaung belaka di tengah gurun Sahara.
Tapi ikhtiar Rizal untuk membela kaum tani tidak pernah main-main. Beberapa hari lalu misalnya ia secara langsung mendatangi Gedung KPK (Komisi Pembarantasan Korupsi) untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam praktek impor pangan.
Rizal Ramli menyertakan bukti-bukti berupa hasil audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) terkait dengan Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan Tata Niaga Impor Tahun 2015 hingga Semester I tahun 2017.
Rizal berharap KPK dapat mendalami dan menindaklanjuti laporannya tersebut. Apalagi KPK sudah berpengalaman menangani kasus impor pangan.
Salah satu contoh kasusnya merujuk pada kasus yang menjerat bekas Presiden PKS Luthfi Hasan Ishak. Dimana perkaranya dapat terungkap secara tuntas dan menjadi reputasi tersendiri bagi KPK.
Tokoh-tokoh pembela rakyat selalu menempuh risiko. Memihak dan memperjuangkan kepentingan rakyat memang bukan jalan yang mudah. Seringkali risiko dan jalan yang tidak mudah itu berupa fitnah, ancaman kriminalisasi, character assassination, intimidasi, hingga hal-hal yang tidak menyenangkan lainnya.
Rizal Ramli sendiri sejak muda telah menempuh ancaman risiko seperti itu.
Rizal yang mengaku telah mewakafkan hidupnya untuk rakyat, bangsa, dan negeri ini telah banyak melakukan ibadah sosial yang nyata, baik sebagai tokoh pergerakan, ketika jadi pejabat tinggi negara maupun setelah tidak lagi menjabat. Interestnya adalah melawan ketidakadilan.
Dari sisi ini sebagai wartawan saya melihat Rizal Ramli bagaikan ‘the last man still standing’, laki-laki terakhir yang masih tetap berdiri, yang menyuarakan dan membuktikan keberpihakan kepada kaum tani dan nelayan, sebagaimana dulu Sukarno, sebagaimana dulu para pendiri bangsa.
Catatan: Arief Gunawan, Wartawan Senior