Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior.
PARA ahli hukum Belanda menaruh simpati waktu Hatta disidang di Den Haag karena menuntut kemerdekaan, dengan ikut ngasih pembelaan.
Sukarno menyuarakan “Indonesia Menggugat”.
Yang dikritik bukan cuma hakim kolonial yang tak adil, tapi juga intelektual bumiputera supaya sadar.
Husni Thamrin lantang di Volksraad, bangsa besar harus berdaulat di tangan bangsa sendiri.
Tjokroaminoto menulis Rechtpersoon. Mengedepankan Hukum Adil, menolak mesianisme Ratu Adil.
Tapi apa lacur, praktek hukum & politik di negeri ini sekarang penuh uang mahar.
Uang mahar dalam masyarakat berarti uang antaran sewaktu meminang. Di lapangan hukum dan politik sekarang dimaknai duit sogokan yang diminta oleh partai.
Waktu makan siang di Belanda,Rizal Ramli bertanya pada koleganya, seorang Perdana Menteri yang friendly: apa kenal uang mahar?
Rizal menjelaskan uang mahar terjadi dalam praktek politik dan hukum di Indonesia saat ini, ketika seseorang mau jadi pejabat seperti kepala daerah sampai kepala negara.
Ternyata pertanyaan Rizal dianggap lucu dan aneh, karena di Belanda dan Eropa pada umumnya perbuatan seperti itu nggak mungkin terjadi. Selain tercela juga berarti melanggar hukum.
Pertanyaan bermula dari obrolan santai soal sistem pencalonan pemimpin di Negeri Kincir Angin itu.
“Saya tanya, kamu keluarin berapa duit ? Dia marah, karena dia nggak ngeluarin uang sama sekali,” kata Rizal mengenang percakapan beberapa tahun lalu itu.
Rizal Ramli yang dikenal suka bicara candid mengungkapkan praktek politik yang terjadi di Indonesia pada saat Pemilu. Yaitu maraknya calon pemimpin bermodal uang mahar yang diminta oleh partai supaya didukung.
“Saya kasih tau, di Indonesia mau jadi anggota DPR keluar Rp 5 miliar. Jadi bupati harus sewa partai Rp 60 miliar, belum lain-lain. Dia kaget bukan main.
Buat orang Barat itu lucu banget. Nggak masuk ke akal mereka,” kata Rizal lagi.
Rizal Ramli sendiri sejak lama menilai sistem pemilihan di Indonesia harus diubah.
Sebab, menurutnya, demokrasi di Indonesia sekarang salah kaprah, karena mengikuti sistem politik ala Amerika, yang dikendalikan oleh para pemodal, karena partai politik tidak dibiayai oleh negara.
Berbeda dengan sistem demokrasi di Eropa partai politiknya dibiayai oleh negara.
“Solusinya kita harus ikuti sistem Eropa Barat. Partai politik dibiayai negara, bukan lagi oleh bandar atau cukong. Sehingga ketika seseorang terpilih jadi pemimpin benar-benar melayani rakyat,” Rizal Ramli menandaskan.
[***]