Artikel ini ditulis oleh Didik J. Rachbini, Rektor Universitas Paramadina.
Suatu pagi ketika Rizal Ramli (RR) masih menjabat Menteri Koordinator Perekonomian (2000-2001), dia menelpon saya langsung dari kantornya hanya sekedar memberi apresiasi dan respek terhadap muatan ide di dalam tulisan saya di harian Kompas tentang utang luar negeri.
Dulu zaman Orde Baru, kita tergantung kepada utang luar negeri sehingga ada sisi kurang berdaulat dan ada nuansa didikte dalam kebijakan ekonomi.
Saya sudah tidak ingat keseluruhan ide dari tulisan tersebut karena hari-hari berikutnya selalu ada saja artikel yang harus saya tulis untuk majalah Tempo, harian Republika, Bisnis Indonesia, dan lainnya.
Setelah pembicaraan utang dan macam-macam selesai, saya berpikir, jika respon Menko Rizal baik, maka saya perlu membaca dan melanjutkan ide-ide yang ada di dalamnya.
Saya membaca kembali tulisan tersebut dan saya pikir muatannya cukup mendalam dan kritis. Dari percakapan bersifat pribadi dan persahabatan intelektual tersebut, maka saya dengan dasar sub-sub bab dari tulisan tersebut kemudian menjadi bab-bab di dalam buku yang berjudul Ekonomi Politik Utang.
Pengalaman bersama dan komunikasi saya dengan Rizal Ramli bersifat akademik, intelektual sampai yang bersifat pribadi.
Saya memahami gejolak di dalam dirinya untuk terus mengobarkan tidak hanya hal akademik dan riset, tetapi juga gerakan yang terus menonjol dalam aktivitasnya sehari-hari.
Pengalaman pribadi lain sejak pertengahan 1990-an, Rizal Ramli mendirikan lembaga think tank ECONIT yang terkenal, saya dan rekan-rekan mendirikan lembaga think tank lain yaitu INDEF.
Didirikan bersamaan pada masa Orde Baru masih sangat kuat dan monopoli kebenaran hanya ada di kelompok ekonom pemerintah.
Kini RR, sapaan Rizal Ramli, sudah meninggalkan kita. Siapa tidak kenal Rizal Ramli tokoh yang masa mudanya tumbuh dalam gerakan dan ranah intelektual.
Akhir-akhir ini yang menonjol adalah gerakan opposisi untuk melawan praktik anti demokrasi di dalam kekuasaan.
Sepanjang hayatnya tidak pernah berhenti untuk menjaga demokrasi dengan caranya dan melakukan melakukan koreksi terus-menerus bahkan ketika demokrasi remuk redam seperti sekarang ini.
“Check and balances” di dalam demokrasi formal parlemen mati, Rizal Ramli tampil ke depan sehingga marwah demokrasi yang jatuh masih terlihat ada dinamika.
Sebagai tokoh Gerakan, RR memilih berada di luar dengan kapasitasnya sebagai ekonom, intelektual, yang berbicara dengan data dan fakta ekonomi politik.
RR merasa tidak memerlukan baju partai karena dianggap tidak memadai untuk menjaga apalagi mendorong demokrasi. Jadi banyak orang yang tetap melihat figur RR adalah tokoh yang berpengaruh dalam menjaga demokrasi.
Jadi RR selama hidupnya, hanyut di dalam arus gerakan, yang menjadikan rumahnya markas diskusi dan sekaligus gerakan.
Itu semua untuk satu tujuan kontrol terhadap demokrasi. Karena tidak hendak masuk ke alam sistem dan tetap menempatkan dirinya di luar, maka gerakannya terus-menerus dan selamanya menjadi opposisi kritis, bahkan sangat kritis.
[***]