KedaiPena.Com – Ekonom senior Rizal Ramli menilai rencana pemerintah mencabut industri crumb rubber (karet remah) dari daftar negatif investasi (DNI) sebagai tidak masuk akal. Langkah tersebut justru akan mematikan industri nasional yang sudah ada sejak puluhan tahun silam.
“Lha wong yang sekarang saja sudah terjadi idle capacity. Kapasitas produksi kita sekarang sudah 5,6 juta ton lebih. Sementara ketersediaan bahan baku hanya 3,5 juta ton. Artinya, ada kekurangan pasok bahan baku sebanyak 2,1 juta ton. Jadi tidak masuk akal kalau Pemerintah mau mencabut crumb rubber dari DNI. Kalau dibuka lebar-lebar untuk asing, ini justru akan mematikan industri nasional yang sudah ada,” ujar Rizal Ramli di Jakarta, belum lama ini.
Menko Ekuin era Presiden Gus Dur itu berpendapat, aturan yang sudah ada cukup bagus, tidak perlu diubah. Sesuai Perpres nomor 44/2016 dan Permen Perindustrian nomor 09/M-IND/PER/3/2017, pembukaan industri ini kepada asing disertai sejumlah catatan. Di antaranya harus terintegrasi dengan pengembangan kebun karet sendiri yang mampu memasok sekurangnya 20% dari kebutuhan, dan 80% bahan baku sisanya harus dipenuhi melalui kemitraan. Syarat lainnya, dari 80% kemitraan tadi, sedikitnya 20% di antaranya harus dalam bentuk inti-plasma.
“Dengan adanya persyaratan asing harus punya kebun sendiri, ini sudah bagus. Mungkin kita bisa belajar meningkatkan produksi karet alam dari mereka. Apalagi, selama ini produktivitas kita memang rendah, kalah dibandingkan dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam,” kata Rizal Ramli.
Di saat harga rendah seperti sekarang, rencana mencabut industri karet remah dari DNI itu semakin tidak masuk akal. Pada 2011, harga crumb rubber pernah mencapai US$4,5/kg. Harganya terus merosot, sehingga kini tinggal US$1,2/kg. Selain itu, pelaku usaha di bidang ini juga umumnya pengusaha menengah, karena investasinya tidak besar dan teknologinya tidak canggih amat.
Inilah yang menjelaskan mengapa dari 157 perusahaan crumb rubber yang ada, 96 di antaranya adalah penanaman modal dalam negeri (PMDN) alias milik swasta nasional. Sedangkan sisanya yang 61 perusahaan adalah penanaman modal asing (PMA) dan atau terafiliasi asing. Tapi kendati jumlah mereka lebih sedikit, kontribusi ekspornya mencapai 63,1%. Sedangkan perusahaan lokal yang 96 unit harus puas dengan 36,9% sisanya.
Sehubungan dengan itu, Rizal Ramli mengingatkan agar Menteri Perindustrian Erlangga Hartarto berhati-hati jika bermaksud menarik investasi asing. Kita memang membutuhkan investasi asing. Tapi sebaiknya diutamakan untuk yang memberi manfaat sebesar-besarnya bagi perkonomian nasional. Jangan malah sebaliknya, mematikan industri nasional yang sudah ada.
Dia menyarankan, agar Pemerintah fokus pada peningkatan produksi yang kini rata-rata hanya setengah dari produksi Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Kalau pun mau menarik investasi asing, sebaiknya untuk hilirisasi industri. Karena faktanya, dari 3,5 juta ton produksi hanya 631.000 ton yang diserap industri hilir di dalam negeri. Sisanya yang 3,2 juta ton habis diekspor.
“Satu lagi, sudah saatnya bersama Thailand, Malaysia, dan Vietnam kita membentuk organisasi produsen karet alam. Bukankah kita berempat menguasai lebih dari 75% produksi dunia? Dengan membentuk organisasi semacam OPEC pada minyak, kita bisa punya bargaining, bahkan power di hadapan konsumen. Pada 2015 saya sudah buktikan dengan membentuk CPOCP dapat mendorong Indonesia dan Malaysia menguasai pasokan CPO dunia. Hasilnya, ada kenaikan harga CPO sekitar US$ 180 per ton,” papar Rizal Ramli.
Saat menjadi Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli menginisiasi pembentukan Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit (The Council of Palm Oil Producing/CPOPC). Sebelumnya, selama puluhan tahun Indonesia dan Malaysia bersaing di CPO. Dengan pembentukan CPOPC, Indonesia dan Malaysia yang menguasai 80% pasokan CPO dunia bisa menentukan harga sehingga lebih menguntungkan produsen. Tidak kurang dari mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad memuji langkah tersebut.
Laporan: Ranny Supusepa