Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Mantan redaktur pelaksana koran Indonesia Raya, Atmakusumah Astraatmadja, menceritakan peran penting Raja Jawa, Sultan Hamengku Buwono IX, saat ibu kota pindah ke Jogja akibat Agresi Belanda, 1946-1949.
Waktu ditanya berapa besar bantuan keuangan yang diberikan untuk para tokoh bangsa dan aparatur pemerintah yang kala itu mengungsi ke Jogja, Sultan Hamengku Buwono IX mengaku lupa.
“Ah, nggak mungkin saya ingat. Ngambilnya saja begini.” kata Sultan sambil menirukan gerakan orang yang sedang mengambil dengan dua telapak tangan, seperti menyendok pasir dengan tangan.
Gerakan tangan itu menggambarkan betapa banyaknya uang perak dan lembaran gulden yang disumbangkan Sultan dari kas pribadi miliknya.
Menurut Bung Hatta di buku “Tahta Untuk Rakyat” jika dihitung mungkin tak kurang dari lima juta gulden.
Bung Hatta juga pernah bertanya apakah uang itu perlu dibayar kembali oleh pemerintah. Namun pertanyaan ini tak pernah dijawab oleh Sultan.
Hamengku Buwono IX boleh dibilang satu-satunya Raja Jawa yang paling banyak dikenang karena jasa-jasanya terhadap republik. Selain dermawan, Sultan adalah model pemimpin yang tidak serakah dan tidak rakus terhadap kekuasaan.
Pada masa Agresi itu para pembesar Belanda membujuk Sultan supaya ikut bergabung dengan Belanda. Dengan imbalan uang dan perluasan wilayah kerajaan, hingga dirayu jadi raja untuk seluruh Jawa dan Madura.
Sultan yang pendiam waktu itu hanya berkata:
“Over mijn lijk heen!”. Langkahi dulu mayatku.
Waktu jadi wapres mendampingi Soeharto, Sultan tak bersedia dicalonkan kembali. Sultan memilih mundur dengan alasan kesehatan.
Apa pesan moral dari sekelumit kisah ini?
Sebagai sebenar-benarnya seorang raja yang tumbuh di lingkungan feodal Sultan ternyata bukan sibuk noto bondo (menata harta) dan noto kuoso (menata kekuasaan). Sultan menghayati sifat seorang pemimpin Jawa sejati yang harus mampu noto ati, noto roso, noto jiwo (menata hati, menata rasa, dan menata jiwa).
Sensitifitasnya terhadap penderitaan rakyat dan perjuangan kemerdekaan mengalahkan egonya sebagai seorang raja. Sehingga ikhlas berkorban dan tidak serakah. Berbeda dengan sikap priyayi konservatif bermindset kolonial
pada umumnya yang hidup terpandang bukan karena kewibawaan membela hak rakyat, melainkan karena harta kekayaan.
Namun watak feodal yang lekat dengan tabiat rakus dan serakah rupanya berkembang di alam rezim hari ini. Sehingga dalam waktu sekitar sembilan tahun jadi presiden, anak, mantu dan adik ipar Jokowi langsung menguasai bisnis dan politik.
Bagaikan Petruk Jadi Raja, Gibran sang anak jadi Walikota Solo. Sedangkan Bobby sang menantu Walikota Medan. Belakangan sempat muncul pula wacana memproyeksikan Gibran jadi Gubernur Jakarta, dan upaya menjadikan cawapres mendampingi Prabowo di Pilpres 2024 melalui upaya via Mahkamah Konstitusi mengubah batas usia capres/cawapres yang di dalam undang-undang Pemilu ialah berusia 40 tahun.
Sedangkan sang adik, Kaesang, digadang-gadang untuk menempati posisi Walikota Depok, dan dalam waktu sekejap jadi ketua umum partai politik. Ada pun Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, tak lain adalah adik ipar Joko Widodo.
Tak tanggung-tanggung aset bisnis kedua anak lelaki Jokowi ini langsung pula mencapai ratusan miliar. Tajir melintir, kata istilah ABG zaman sekarang.
Intinya, praktek KKN dinasti Jokowi ternyata lebih ganas dibandingkan dengan dinasti Soeharto yang perlu waktu 32 tahun berkuasa.
“Tujuan dan cita-cita reformasi ’98 menuju gagal total, hanya akibat ulah kerakusan satu keluarga,” tandas tokoh nasional Dr Rizal Ramli di akun twitter-nya belum lama ini.
Seperti diketahui salah satu tujuan reformasi ‘98 adalah membasmi KKN sebagaimana dinyatakan dalam Tap MPR Nomor VIII/2001.
Rakus dan serakah rupanya memang telah menjadi ciri umum rezim saat ini, seperti kisah satire yang tergambar dalam lakon sang Petruk Jadi Raja.
[***]