Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Trisakti, konsepsi kebangsaan yang menekankan prinsip berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, yang dulu dicita-citakan Sukarno, tapi kini dipakai Jokowi sebagai topeng kepalsuan?
Trisakti adalah antitesa dari kolonialisme, imperialisme dan feodalisme, yang tak mungkin dijalankan oleh presiden boneka yang memihak oligarki.
Kenapa Trisakti kini jadi kembang kata?
Karena Jokowi jelas bukan murid ideologis Sukarno. Tak punya kapasitas, intelegensia, visi dan kemampuan leadership. Bahkan riwayat pendidikannya dilanda kabar ijazah palsu.
Sejarah kemerdekaan negeri ini dulu dipenuhi oleh para tokoh antitesa dari mindset kolonial, imperialis dan feodal.
Merekalah yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai stormram atau generasi pendobrak.
Para stormram ini umumnya adalah tokoh-tokoh erudisi (berpengetahuan luas) yang menempatkan diri sebagai pengemban mission sacre (tugas mulia) yang memerdekakan bangsa dari penjajahan.
Indonesia saat ini membutuhkan antitesa dari pemimpin boneka yang hanya mengandalkan pencitraan dan menjadikan Trisakti sebagai topeng kepalsuan.
Antitesa tersebut mencakup misi kepemimpinan, content, style, gestures, leadership, serta visi ke-Indonesia-an yang mampu membawa negeri ini mengejar berbagai ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain.
Sosok antitesa dari pemimpin boneka oleh banyak kalangan disebut ada pada diri tokoh nasional Dr Rizal Ramli, seiring dengan adanya kebutuhan masyarakat yang menginginkan pemimpin yang cerdas dan memiliki kemampuan problem solver.
Sebagai tokoh nasional Rizal Ramli sendiri telah menempuh Via Dolorosa, ialah jalan kepemimpinan yang tak mudah, yang dilalui dengan proses pembuktian keberpihakannya kepada mayoritas rakyat negeri ini.
Jalan itu ditempuhnya sebagai seorang anak yatim piatu sejak berusia 6 tahun.
Waktu mahasiswa ITB di usia belia secara berturut-turut ia memimpin Gerakan Anti Kebodohan (1976), memimpin aksi mahasiswa menentang otoritarianisme Soeharto dan menyusun Buku Putih perlawanan terhadap Orde Baru (1978), yang berbuntut dipenjarakan selama satu setengah tahun di Penjara Sukamiskin.
Kemudian menjadi pejabat tinggi di era Presiden Gus Dur dengan berbagai prestasi dan reputasi yang memihak kepentingan mayoritas rakyat.
Sebelumnya ia memimpin lembaga pemikiran ekonomi, Econit, yang dengan terobosannya sebagai intelektual secara berani dan konsisten menyatakan kebenaran dan menyuarakan ketimpangan-ketimpangan ekonomi yang terjadi.
Di era penguasa boneka yang tunduk pada kepentingan oligarki dan Peng-peng (penguasa merangkap pengusaha) pengabdiannya kepada mayoritas rakyat sebagai Menko Maritim dan Sumber Daya dipecundangi melalui reshuffle atas perintah oligarki dan Peng-peng yang kepentingan bisnisnya terganggu.
The path of history often shows the values of truth, kata peribahasa Inggris, jalan sejarah memang seringkali menunjukkan nilai-nilai kebenaran.
Dengan prinsip memegang kebenaran itu kini berkembang kepercayaan di tengah masyarakat yang menginginkan adanya perubahan yang lebih baik, bukan sebuah kebetulan saat ini muncul keinginan untuk menduetkan Rizal Ramli dengan Puan Maharani di Pilpres 2024 mendatang.
Puan Maharani yang merupakan cucu Sukarno tentu memiliki kewajiban moral dan tugas sejarah untuk mewujudkan Trisakti, yang merupakan cita-cita luhur Sukarno yang belum terlaksana.
Adapun Rizal Ramli sendiri tak ubahnya dengan karakteristik Sukarno. Ia tokoh perubahan yang rekam jejaknya telah terbukti banyak membela wong cilik, egaliter, dan ekonom pro kerakyatan yang selama ini bukan hanya menghayati Trisakti tetapi juga telah banyak mengamalkannya melalui karakternya yang pemberani, bersih dan berkemampuan problem solver.
Banyak kalangan percaya bila duet Rizal Ramli dan Puan Maharani terlaksana, Megawati (PDIP) akan memberikan legacy yang sangat berharga untuk rakyat. Bagaikan memberikan tandamata abadi, yaitu kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran untuk bangsa.
Mewujudkan Trisakti secara benar dan konsekwen, yakni bukan hanya dijadikan topeng seperti yang dilakukan oleh Jokowi selama ini sesungguhnya juga merupakan bukti pengabdian dan cinta Megawati kepada ayahandanya, Sukarno.
Karena Trisakti bagi Sukarno adalah Mahkota dimana Rakyat Bertakhta.
[***]