KedaiPena.Com – Presiden Joko Widodo berhasil membangun banyak proyek infrastruktur. Ada yang bermanfaat untuk rakyat. Sebagian mempunyai nilai strategis terutama untuk mengurangi ketimpangan Jawa vs luar Jawa. Tetapi beberapa berpotensi merugi dan harus disubsidi rakyat.
Demikian disampaikan tokoh nasional Rizal Ramli di Jakarta, ditulis Senin (25/2/2019).
“Seperti proyek jalan tol pantura (kerugian Rp 380 miliar/tahun) dan monorail Palembang (rugi Rp 9 miliar/bulan). Kasus-kasus kerugian itu adalah contoh ”rakyat untuk infrastruktur”, bukan ”infrastruktur untuk rakyat”. Itu terjadi karena tidak efektifnya fungsi planning, kalah dengan ”dawuh pandito ratu”,” jelasnya.
Rizal melanjutkan, pidato Widodo di Sentul kemarin tidak lain adalah pengulangan dari pidato-pidato sebelumnya, laporan tentang apa-apa yang telah dilakukan, dengan angka-angka yang ngasal dan diragukan kredibilitasnya.
“Seperti pada Debat ll banyak sekali data ngasal, ngawur dan cendrung hoax? Hal itu terjadi karena kebiasaan Widodo yang doyan mengklaim prestasi berlebihan (over-claims) dan lingkaran dalamnya yang bermental ABS (Asal Bapak Senang),” lanjutnya.
Widodo juga terlalu jumawa dan tidak jujur ketika mengatakan bahwa ”Dana Desa dimulai dari Jokowi”. Padahal Dana Desa adalah amanat dari UU Desa. Alokasi dana desa Iebih dari Rp 1 miliar per desa adalah amanah dari UU Desa 2013.
“UU Desa tersebut diperjuangkan oleh asosiasi-asosiasi kepala Desa, terutama Parade Nusantara dengan Ketua Umum Sudir Santoso dan Ketua Dewan Pembina DR. Rizal Ramli; yang memperjuangkan UU Desa sejak tahun 2011. Pembahasan UU tersebut banyak dibantu oleh Marwan Ja’far, Ketua Fraksi PKB dan Ahmad Muqoam Ketua Pansus dari PPP, serta dibantu Ketua DPR Marzuki Alie,” sambung Gus Romli sapaan Rizal di kalangan Nahdliyin.
Hukum semakin terasa tidak adil, hanya galak dan tegas terhadap tokoh-tokoh yang berbeda pendapat dan kritis terhadap kekuasaan. Indeks demokrasi Indonesia merosot dari peringkat ke 49 pada tahun 2014 menjadi peringkat ke 65 pada tahun 2018.
Terjadi pendangkalan kehidupan bernegara, semua masalah dibahas dengan kerangka untuk menjaga kepentingan kekuasaan. Bukan untuk membela kepentingan rakyat dan keadilan bagi seluruh rakyat. Situasi ini menimbulkan kondisi sosial di masyarakat menjadi terbelah karena praktek hukum dijalankan secara antagonis atau tidak adil. lni memancing suasana konfrontatif di dalam masyarakat.
Setelah 4 tahun Iebih, lanjut RR, sapaannya, terbukti Widodo gagal karena tidak adanya konsistensi antara tujuan, strategi, kebijakan dan personalia. Pidato Widodo di Sentul, kurang jujur, karena tidak mengakui kegagalan yang terjadi. Seharusnya, jika ksatria, Widodo berani meminta maaf dan ganti strategi.
“Jika Widodo melakukan hal itu, baru akan terlihat harapan dan optimisme baru. Tetapi Widodo tidak mau minta maaf dan ganti strategi, sehingga kegagalannya justru menebar pesimisme dan mengubur harapan,” tambah dia.
Padahal inti dari kepemimpinan adalah menumbuhkan harapan dan optimisme. Untuk itu pemimpin harus mampu melakukan refleksi, introspeksi dan kejujuran untuk mengakui kekurangan dan kegagalan untuk segera diubah, sehingga memberikan harapan dan optimisme baru.
Laporan: Muhanmad Hafidh