Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
SEBELUM kemerdekaan kelompok masyarakat yang menginginkan perubahan di Hindia Belanda bukan hanya golongan bumiputera.
Golongan Tionghoa saat itu misalnya terpecah jadi dua.
Yang pertama adalah Chung Hwa Hui atau dikenal dengan sebutan golongan Packard. Nama yang diambil dari merek mobil mewah terkenal pada masa itu, yang hanya dimiliki oleh para taipan top, yang memihak kepada rezim kolonial Hindia Belanda.
Golongan kedua ialah Partai Tionghoa Indonesia, yang memihak kepada kemerdekaan Indonesia dan mengharapkan kewarganegaraan.
Sedangkan di kalangan orang Belanda juga lahir golongan yang pro kepada kemerdekaan Indonesia melalui jalan evolusi dan parlemen, yang disebut golongan De Stuw (Stuwgroup, atau berarti Gerakan Maju).
Lawan dari De Stuw ialah Vaderlansche Club (Golongan Patriot).
Kelompok ini ingin terus mempertahankan dan memperkuat kekuasaan kolonialisme di Hindia Belanda dengan berbagai cara.
Waktu itu di era tahun 1920-an konstitusi Hindia Belanda (Nederlands Indische Grondwet) makin memungkinkan masyarakat mendirikan organisasi secara terbuka, walaupun dengan pengawasan yang ketat.
Namun demikian sejarah punya jalannya sendiri kemerdekaan Indonesia akhirnya ternyata ditentukan oleh dampak Perang Asia Pasifik dan perlawanan domestik berupa revolusi rakyat terhadap penjajahan.
Gambaran situasi pada masa Hindia Belanda ini kurang lebih sama dengan situasi sosial dan politik hari ini.
Saat ini meski masyarakat dipecah belah oleh rezim, namun kehendak untuk merdeka dan keinginan untuk membebaskan diri dari penindasan rezim boneka Beijing kian hari kian kuat.
Kelompok-kelompok masyarakat seperti buruh, petani, nelayan, petambak garam, mahasiswa, kalangan profesi, golongan emak-emak, dan para pengusaha yang merugi akibat kebijakan perekonomian nasional yang sesat, hingga kaum ulama serta kelompok agamawan lainnya, menginginkan adanya perubahan yang lebih baik.
Gelora keinginan untuk merdeka sudah secara jelas disuarakan dalam berbagai ekspresi, mulai dari aksi-aksi mural, unjuk rasa, gugatan untuk mendapatkan keadilan, berbagai protes atas kesewenang-wenangan yang disampaikan melalui media sosial, dan seterusnya.
Dalam suasana keinginan mayoritas rakyat yang menghendaki kemerdekaan dulu para tokoh pejuang kemerdekaan menyuarakan ide-ide untuk membebaskan bangsa dari penindasan.
Tjipto Mangunkusumo meminta penghapusan terhadap politik diskriminasi, Husni Thamrin menuntut kelayakan taraf hidup bumiputera dengan bersuara di parlemen, Hatta menolak konsepsi ekonomi kolonial yang menyebabkan ketidakadilan bagi bumiputera, dan sebagainya.
Hari ini tokoh nasional Dr Rizal Ramli menawarkan demokrasi yang berkeadilan dan amanah, serta menyatakan secara tegas Presidential Treshold atau ambang batas pencalonan presiden harus menjadi nol persen, agar semua anak bangsa yang hebat bisa maju menjadi pemimpin bangsa di semua level.
‘’Kalau Presidential Treshold nol persen, semua anak bangsa yang hebat dari Sabang sampai Merauke bisa maju untuk memimpin daerah dan bangsa. Tanpa harus takut karena biaya tinggi, akibat demokrasi kriminal yang bertumpu pada kekuatan uang seperti sekarang ini,” tandas Rizal Ramli.
Sikap konsisten dan berani Rizal Ramli agar Presidential Treshold diubah menjadi nol persen bukan saja menuai banyak pujian dari banyak kalangan, tetapi juga faktanya telah menimbulkan banyak dukungan dari berbagai pihak yang menginginkan perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik.
Di antaranya datang dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, para aktivis yang tergabung dalam Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia, kader Partai Gerindra, beberapa partai politik baru, para analis politik, kelompok-kelompok akademisi, kalangan profesi, serikat buruh, mahasiswa, hingga masyarakat biasa, dan elemen-elemen lainnya.
Mindset politik rezim boneka Beijing yang rakus, yang tetap ingin mempertahankan Presidential Treshold 20 persen sudah sangat berlawanan dengan arus besar kehendak mayoritas rakyat, yang menginginkan demokrasi yang berkeadilan dan berkorelasi kepada kesejahteraan.
Adapun bukti-bukti dukungan agar Presidential Treshold diubah menjadi nol persen yang selama ini disuarakan oleh tokoh nasional Dr Rizal Ramli dapat dilihat jejak digitalnya di media-media online dan media sosial.
Audaces Fortuna Iuvat, kata pepatah Latin.
Nasib baik menolong mereka yang berani. Tetapi perubahan tentu tidak datang dengan sendirinya.
[***]