Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior.
WAKTU minta pensiun dari jabatan gubernur usia Bang Ali, 51.
Mendagri Amir Machmud yang urang Sunda bertanya:
‘’Pak Ali bade ka mana?…’’.
Maksudnya Pak Ali mau jabatan apa.
Bang Ali menjawab:
‘’Saya mau ke masyarakat’’.
‘’Lho leres?’’
“Iya.’’ kata Bang Ali.
Waktu ketemu Soeharto di Bina Graha Bang Ali tak minta apa-apa. Meski memungkinkan jadi pejabat lagi.
Bang Ali sudah mencapai top. Militer aktif Marinir bintang tiga. Plus dua jabatan sipil penting, menteri dan gubernur Jakarta dua periode.
Waktu jadi Menko Maritim usianya 37.
Setelah pensiun hidup sederhana. Dari hasil sewa menyewa rumah.
Istri pertamanya mendiang Nani Sadikin, seperti sering dibanggakannya adalah anak orang kaya dengan banyak warisan, antara lain tanah dan berprofesi dokter gigi.
Bang Ali sendiri anak wedana. Kakak tertuanya, dr Hasan Sadikin, diabadikan jadi nama rumah sakit di Bandung.
Meski menak Bang Ali tidak feodal. Wataknya keras membela kebenaran.
Bang Ali menyayangi ibunya yang berdarah Banten.
“Face saya seperti ibu,’’ kenangnya.
Ketika PRRI/Permesta Ali Sadikin jago tempur. Dikenal dengan gaya Holywood-nya.
Yaitu mimpin pendaratan pasukan sambil pegang stan-gun, lari menyerbu sambil menembak.
Tapi Bang Ali juga romantik. Saat jadi gubernur dia memikirkan tempat supaya muda mudi Jakarta bisa berpacaran secara sehat.
Makanya Bang Ali bikin Taman Monas dan Taman Ria Senayan.
‘’Saya melarang orang yang lagi pacaran diganggu. Kalau you masuk kampung; satu kamar berjejal dari kakek, nenek, sampai cucu, dimana mau pacaran? Halaman tidak ada, yang ada gang satu meter. Ini saya hayati, berikan tempat untuk berhibur. Bagaimana sengsaranya hidup rakyat jelata di Jakarta,’’ jelas Bang Ali.
Suatu ketika Bang Ali ditanya wartawan bagaimana rasanya tampil di muka umum setelah tak jadi pejabat.
Jawabnya: nikmat dan plong.
Kemana pergi orang masih menyambut baik. Sopir-sopir masih suka lari-lari jadi penunjuk parkir. Biarpun sudah tidak pakai safari, tidak pakai ajudan, tapi orang masih menghormati.
Kenapa itu bisa terjadi ?
Bang Ali mengaku karena waktu menjabat dia memegang amanat rakyat. Tidak macam-macam. Anak dan keluarganya tidak memanfaatkan fasilitas.
Karena itu Bang Ali merasa hidupnya ringan. Mampu mengatakan putih adalah putih. Hitam adalah hitam.
Kagum pada karakter Bang Ali, tokoh nasional Dr Rizal Ramli kini kembali mengenangnya. Sejak mahasiswa ternyata Bang Ali salah satu panutan Rizal Ramli.
“Waktu mahasiswa ITB saya sering bertemu dan belajar banyak tentang kepemimpinan dari Bang Ali. Orangnya apa adanya, bicara to the point, kepemimpinannya efektif,” kata Rizal Ramli.
Salah satu yang dikenangnya adalah permintaan Bang Ali kepada wartawan untuk memberitakan kabar secara sebenar-benarnya mengenai kepemimpinannya, termasuk kepemimpinannya di ibukota.
Pelajaran berharga yang patut dicontoh oleh para pejabat negara hari ini, kata Rizal Ramli, Bang Ali tidak suka laporan ABS alias Asal Bapak Senang. Karena ABS menutupi fakta dan realitas yang sebenarnya terjadi.
Sikap menjilat seperti itu esensinya adalah menipu.
“Saya tiru cara Bang Ali yang menganjurkan wartawan menulis secara faktual kelemahan-kelemahan yang ada. Karena pejabat-pejabat umumnya selalu bilang, ‘semua beres, tidak ada masalah’. Padahal banyak rakyat mengeluh. Dari tulisan dan laporan wartawan, kita bisa mengoreksi,” tandas Rizal Ramli yang memiliki persamaan karir karena secara kebetulan pernah pula menjabat Menko Maritim, yang rekam jejak legacy-nya untuk rakyat dapat ditelusuri di media massa.
[***]