Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Di masa pralaya, rakyat mencari Ratu Adil. Sebab despotik dan tiran hanya lahirkan penguasa.
Jepang datang rakyat nyari pemimpin. “Empat Serangkai” : Hatta, Mas Mansyur, Dewantara, dan Sukarno.
Trio Douwes Dekker, Tjipto, Dewantara, juga disebut “Tiga Serangkai”. Orang Belanda bilang Bumiputera Commissie.
Mereka mendirikan Indische Partij, menuntut adanya parlemen dan meminta merdeka. Militan, Radikal-Radikul pada zamannya.
Mereka tokoh-tokoh yang mewakafkan hidup untuk negeri. Seperti halnya Rizal Ramli dengan reputasi dan ‘track record’ sejak mahasiswa membela rakyat.
Yatim piatu usia enam tahun yang menempuh Via Dolorosa, yang hati, pikiran serta tindakannya memihak kepentingan rakyat.
‘The Eagle Flies Alone, Never Clustered’.
Memori publik hingga kini mencatat Rizal Ramli Lokomotif Perubahan, saat di dalam maupun di luar kekuasaan.
Poros Serpong, “Tiga Serangkai”, benarkah sebuah repetisi sejarah?
Secara frase dan semantik memang menarik dengan konotasinya yang nostalgik romantik.
Namun apakah hanya akan tinggal istilah, kembang kata belaka yang tiada bermakna?
Kerinduan rakyat akan pemimpin berintegritas dan berciri ‘problem solver’ hari ini bagaikan insan tawadu yang sedang berpuasa: menahan marah, lapar, dan dahaga.
Mesias, Sabdapalon, Ratu Adil, Petruk Jadi Raja, kisah-kisah mitos belaka. Yang ternyata gagal memimpin sehingga melempari rakyat di jalan dengan plastik sembako.
Poros Serpong, “Tiga Serangkai” akan menjadi realitas sejarah ketika Lokomotif Perubahan mengubahnya menjadi Poros Rakyat dan Merangkai Jutaan harapan rakyat menjadi kenyataan untuk Indonesia yang lebih baik.
‘Note’: Tulisan ini merupakan tanggapan atas pertemuan La Nyala Mattalitti, Dr Rizal Ramli, dan Gatot Nurmantyo di Serpong, beberapa hari lalu.
[***]