Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
BARANGKALI sebuah kebetulan atau mungkin sudah takdir sejarah (historisch lot) bahwa ternyata banyak tokoh pergerakan kemerdekaan negeri ini memulai dan memusatkan pergerakannya di Kota Bandung, dibandingkan kota-kota lain di Indonesia.
Tirto Adhisuryo, Tjipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantara, Soeryopranoto, Douwes Dekker, Sosrokartono, Abdul Muis, Hatta, Sukarno, Natsir, Sutan Sjahrir, adalah sedikit contoh dari tokoh-tokoh yang memulai debutnya di Kota Bandung, yang kebetulan pula mereka bukan orang Sunda.
Sejak Ibukota Priangan pindah dari Cianjur ke Bandung pada 1865 akibat perubahan jalur kereta api yang mengangkut hasil-hasil perkebunan, Bandung berkembang pesat menjadi sebuah metropolis yang egaliter dan pluralis.
Bandung juga merupakan benteng pertahanan terakhir tentara Belanda ketika Jepang merangsek masuk ke Pulau Jawa pada 1942. Setelah ide Jenderal Spoor untuk bertempur melawan tentara Jepang secara bergerilya ditolak mentah-mentah oleh para perwiranya sendiri.
Rizal Ramli yatim piatu yang ditinggal wafat oleh kedua orangtuanya saat masih berusia 8 tahun juga menjalani persemaian nasionalismenya di Ibukota Priangan ini saat menjadi mahasiswa ITB.
Tak banyak yang diingat olehnya tentang tanah kelahirannya di Simpang Haru, Kota Padang, Sumatera Barat. Ia tumbuh hingga SMA dalam asuhan sang nenek yang penyayang, di sebuah kota kecil yang juga merupakan bagian dari Tanah Pasundan, yaitu Bogor.
Pertalian batin Rizal Ramli dengan Tanah Priangan atau Tatar Pasundan sangat erat. Di sinilah ia menjalani pematangan diri sebagai tokoh pergerakan, intelektual, organisatoris, sekaligus mahasiswa fisika yang cerdas dengan cakrawala pemikiran yang luas.
Rizal Ramli sendiri sangat mudah beradaptasi dengan Kota Bandung dengan hawanya yang sejuk mirip dengan hawa Kota Bogor. Masyarakat Bandung yang terbuka, religius, pekerja keras, toleran, mencintai seni, dan suka heureuy (humoris) ternyata cocok dengan karakter Rizal Ramli yang dinamis dan optimistis.
Seakan memiliki pertalian sejarah dengan Proklamator RI yang merumuskan konsepsi Marhaenisme, di Cigereleng, Bandung, Rizal Ramli saat mahasiswa juga berhasil merumuskan salah satu persoalan zamannya ketika itu, yaitu kepeduliannya terhadap nasib jutaan anak Indonesia yang tanpa pendidikan, yang kemudian mendorongnya memimpin Gerakan Anti Kebodohan, pada tahun 1976, yang menghasilkan Undang-undang Wajib Belajar.
Itulah sumbangsih pertamanya sebagai seorang anak muda belia berusia 20-an. Remaja yatim piatu yang beribukan seorang guru yang telah mengajarkannya membaca dan menulis sejak berumur 3 tahun.
Pertalian batin Rizal Ramli dengan Bandung semakin erat tatkala ia menjadi penghuni asrama mahasiswa ITB di Jalan Ganesha 10. Setelah sebelumnya sempat menjadi anak kost di daerah Babakan Siliwangi, Bandung.
Waktu itu dapat mondok di asrama merupakan idaman setiap mahasiswa ITB, karena lokasinya yang dekat dengan kampus. Selain itu tinggal di asrama lebih hemat, tidak perlu ongkos untuk transportasi.
Tapi untuk bisa mondok di asrama tidak mudah. Tidak otomatis semua mahasiswa baru dapat menjadi penghuninya. Setelah melewati masa perkuliahan di tingkat satu mahasiswa dapat tinggal di asrama kalau prestasi akademisnya sangat baik.
Asrama juga diutamakan bagi mahasiswa yang kemampuan finansialnya terbatas dan berasal dari luar kota. Uang sewanya cukup murah. Bisa dibayar setiap bulan atau setiap enam bulan sekali.
Karena prestasi akademiknya selama satu tahun pertama kuliah di ITB sangat baik Rizal Ramli pun terpilih untuk tinggal di asrama.
Ia kemudian bukan saja cepat berbaur dan akrab dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya, tetapi juga paham seluk-beluk Kota Bandung.
Karena kecintaannya itu saat menjadi menteri keuangan di kabinet Presiden Gus Dur Rizal Ramli mendedikasikan dana hibah dari pemerintah Kuwait untuk pembangunan fly over Pasopati, Bandung, sebagai salah satu upaya mengurai kemacetan lalu lintas di kota yang oleh orang Belanda tempo dulu disebut: Mooie stad met bloemen, kota indah dengan semerbak bunga, itu.
Bandung yang metropolis-egaliter juga menularkan toleransi. Sebagaimana para tokoh pergerakan kemerdekaan yang memulai debutnya di Kota Bandung Rizal Ramli tidak bersikap provincialist dalam bergaul. Ia berteman dengan siapapun, dari berbagai suku, agama, dan etnis.
Kegemarannya berorganisasi membawanya ke dalam lingkungan yang sangat majemuk. Tatkala memimpin Student English Forum misalnya, teman-teman Rizal Ramli adalah para mahasiswa dari mancanegara.
Ia memperluas spektrum forum ini dengan melakukan berbagai event berskala nasional dan internasional. Antara lain menggelar kompetisi pidato berbahasa Inggris dengan peserta mahasiswa dari seluruh Indonesia dan mengundang seorang profesor dari Hawaii, Amerika Serikat, sebagai juri.
Event lainnya lomba baca puisi berbahasa Inggris dengan melibatkan British Council. Sedangkan Rizal Ramli sendiri sambil kuliah menyambi jadi pengajar di sekolah-sekolah ekspatriat setingkat SMP dan SMA di Kota Bandung dengan materi pelajaran yang dikirim dari University of Nebraska, Amerika Serikat.
Berkat sikapnya yang gesit gaul dan gesit tangan selama kuliah di ITB Rizal Ramli mampu mencukupi kebutuhan hidup dari hasil keringat sendiri. Ia bukan tipe remaja yang manja. Nasib hidupnya sebagai yatim piatu sejak kecil justru membentuk karakter yang tangguh, ulet, pantang menyerah, dan tidak cengeng.
Karena kemampuan berbahasa Inggris-nya yang tinggi ia pun memimpin biro jasa penerjemah yang dikerjakannya bersama beberapa teman di ITB. Secara finansial hasilnya ternyata cukup lumayan untuk ukuran mahasiswa pada masa itu.
Tentang episode ini Rizal Ramli pernah berseloroh. “Hasilnya ternyata lumayan, bisa buat pacaran. Buat nonton di bioskop atau nongkrong di cafe Jalan Braga,” ucapnya mengenang.
Pacar yang dimaksud tak lain adalah mendiang Herawati Moelyono, mahasiswi cerdas ITB jurusan arsitektur yang kemudian menjadi istrinya dan memberikan tiga anak.
Putri sulung Rizal Ramli adalah alumni ITB jurusan teknik mesin, yang kedua seorang putra berprofesi entrepreneur di bidang pendidikan, sedang putri bungsunya kini mengembangkan karir sebagai arsitek di New York, Amerika Serikat, mewarisi bakat mendiang sang ibu.
Tonggak terpenting lainnya dari perjalanan hidup Rizal Ramli di Kota Bandung ialah saat ia memimpin aksi demonstrasi besar menentang otoritarianisme Soeharto, tahun 1978, dalam posisinya sebagai Deputi Dewan Mahasiswa ITB.
Aksi yang berakibat didudukinya Kampus ITB selama lebih dari tiga bulan oleh aparat bersenjata ini mendapatkan sorotan dan simpati secara luas dari berbagai kalangan yang menolak tindakan represif Soeharto terhadap para mahasiswa.
Tindakan represif ini malah menjadi pemicu bagi para mahasiswa dari kampus lainnya, terutama di sekitar Bandung, untuk ikut berunjuk rasa.
Namun suasana represif yang menjadikan ITB mirip tangsi tentara ini tidak membuat Rizal Ramli dan kawan-kawan surut memperjuangkan demokrasi. Ia bersama Irzadi Mirwan, Abdul Rachim, dan Josef Manurung menulis Buku Putih Perjuangan Mahasiswa, yang isinya adalah kritik terhadap Soeharto dan rezim Orde Baru.
Kritik yang disampaikan melalui Buku Putih ini tersusun secara sistematis, dengan alur berpikir yang terstruktur. Lugas dan cermat. Sehingga mengundang banyak pujian. Di antaranya dari Profesor Ben Anderson, Indonesianist dari Cornell University, Amerika Serikat.
Ben Anderson kemudian menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dan melengkapinya dengan footnotes. Buku Putih kemudian diterbitkan ke dalam 8 bahasa.
Akibat keberanian dan keberpihakannya kepada kebenaran ini Rizal Ramli menjadi salah satu pimpinan mahasiswa yang paling dikejar dan dicari-cari oleh aparat bersenjata Soeharto.
Seakan mengikuti jejak pergerakan Sukarno Rizal Ramli akhirnya dipenjarakan di Penjara Sukamiskin, Bandung, selama satu setengah tahun oleh rezim otoriter Soeharto.
Siapakah yang tak mengenal Penjara Sukamiskin? Di salah satu sel penjara itulah dulu, di tahun 1930-an, Sukarno pernah meringkuk berkaitan dengan kisah pledoinya yang terkenal: Indonesia Menggugat, di Gedung Landraad, Bandung.
Pertalian sejarah Rizal Ramli dengan Kota Bandung serupa bunga rampai ikatan batin, yang bukan hanya sekedar memori atau romantisme belaka, tetapi juga melibatkan perasaan, pikiran, perjuangan, dan episode terpenting persemaian nasionalisme di dalam jiwanya yang selalu bergelora membela nasib mayoritas rakyat, demi Indonesia yang lebih baik.
[***]