KedaiPena.Com – Menteri Keuangan Sri Mulyani mengimbau perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk waspada dan mencegah risiko gagal bayar utang, di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi RI.
Menurut dia, ancaman krisis global memaksa perusahaan-perusahaan untuk mengubah asumsi mereka untuk tetap bisa mencetak keuntungan. Karenanya, perusahaan juga harus memperhatikan dinamika lingkungan operasinya secara rinci.
Begawan ekonomi Rizal Ramli geram dengan hal tersebut. Menkeu harusnya berikan solusi agar ekonomi tumbuh lebih tinggi, sehingga resiko gagal-bayar berkurang.
“Menkeu “terbalik” (Sri Mulyani) bilang waspadai resiko gagal bayar utang swasta. Itu ‘statement’ yang tidak lucu,” geram Rizal kepada KedaiPena.Com, Sabtu (5/10/2019).
Eka penasehat ekonomi PBB ini menambahkan, peningkatan utang pemerintah & BUMN justru terbesar. Resiko gagal-bayar swasta, selain karena ‘over-ekspansif’, tetapi juga karena ekonomi semakin melambat, dibawah 5 persen.
“Jika Menkeu “terbalik” cerdas harusnya berikan solusi agar ekonomi tumbuh lebih tinggi, sehingga resiko gagal-bayar berkurang,” sambungnya.
Sebelumnya Sri Mulyani mengatakan, sektor swasta harus meningkatkan kehati-hatian apakah kegiatan korporasi akan memunculkan stream revenue yang diharapkan seperti semula,” ujarnya.
Ia melanjutkan eksposur perusahaan terhadap pembiayaan yang dilakukan sebelumnya, seperti utang, juga akan berdampak pada biaya yang dikeluarkan, termasuk pembayaran kewajiban.
Oleh karena itu, Kemenkeu akan terus memonitor perusahaan-perusahaan terus menerus, terutama perusahaan BUMN, dalam upaya mencegah terjadinya gagal bayar.
Kemenkeu juga akan memperhatikan risiko-risiko instrumen fiskal yang digunakan untuk mendukung berbagai program BUMN dalam rangka menjalankan pembangunan.
“Kami juga terus melakukan observasi dan komunikasi dengan Kementerian BUMN terkait hal ini,” terang Sri Mulyani.
Kemarin, lembaga pemeringkat utang internasional Moody’s Investor Service menyebut bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia rentan terpapar risiko gagal bayar utang. Hal ini tercermin dari pendapatan perusahaan yang kian menurun bisa mengurangi kemampuan korporasi Indonesia dalam mencicil kembali utang-utangnya.
Dalam laporan bertajuk Risks from Leveraged Corporates Grow as Macroeconomic Conditions Worsen tersebut, Moody’s mengungkapkan Indonesia dan India merupakan dua dari 13 negara di Asia Pasifik yang memiliki risiko gagal bayar tertinggi.
Laporan itu meneliti risiko kredit dari 13 negara Asia Pasifik, yakni Australia, China, Hong Kong, Jepang, Korea, Malaysia, Selandia Baru, Australia Singapura, Taiwan, dan Thailand, termasuk dua negara lainnya, yaitu India dan Indonesia.
Sejatinya, rasio utang korporasi Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memiliki angka terendah dibanding negara-negara lainnya. Kemudian, rasio utang terhadap pendapatan perusahaan sebelum pajak, bunga, dan depresiasi (EBITDA) juga cukup aman.
Ini mengingat 47 persen utang korporasi di Indonesia memiliki skor rasio utang terhadap EBITDA berada di bawah 4. Angka ini jauh lebih baik dibanding 11 negara lainnya.
Hanya saja, Moody’s mengingatkan profil utang korporasi Indonesia sangat buruk karena memiliki Interest Coverage Ratio (ICR) yang sangat kecil. Bahkan, sebanyak 40 persen utang korporasi di Indonesia memiliki skor ICR lebih kecil dari 2.
Laporan: Muhammad Lutfi