Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
DI Den Haag, Belanda, pada tahun 1925, beredar sebuah brosur yang menyebut ciri-ciri primitif inlander yang ditulis oleh seorang dokter jiwa terkenal.
Dr F.H Van Loon ini menyebut orang Indonesia semua bodoh, tak sanggup berdebat. Otaknya primitif, dan tak mampu menerima pendidikan.
Isi brosur Van Loon membuat marah mahasiswa Indonesia di Perhimpunan Indonesia, sehingga menunjuk dr Latumeten untuk menantang Van Loon berdebat.
Sanggahan Latumeten yang ilmiah, tajam, dan jitu, akhirnya menghasilkan kesimpulan bahwa brosur Van Loon telah memperkosa ilmu psychiatri dan bermotif politik, agar dunia luar memandang bangsa kita primitif, sehingga membenarkan penjajahan Belanda.
Etnolog Belanda Profesor Veth juga pernah mencela rakyat negeri ini seperti rakyat kambing, yang semangat harimaunya sudah dijinakkan sampai ke kutu-kutunya, karena bekerjanya obat tidur penjajahan.
Waktu itu, sebelum muncul berbagai organisasi pergerakan yang merintis perjuangan kemerdekaan pada awal abad 20, para pembesar Belanda mengolok-olok kita sebagai “bangsa yang paling lunak di dunia” (Het Zachtmoedigste Volk ter Aarde). Ini karena para elit kekuasaannya umumnya bermental feodal, tidak percaya diri, mudah dipecah belah dan penjilat, sehingga secara rendah disindir demi roti dan keju (voor brood en kaas) rela berkhianat kepada rakyat sendiri.
Itulah sebabnya sebutan inlander sebenarnya lebih ditujukan kepada elit kekuasaan yang memiliki mentalitas seperti itu.
Sedangkan tuduhan bahwa rakyat pribumi malas sengaja ditiup-tiupkan oleh penjajah untuk melegitimasi praktek-praktek penindasan dan ketidakadilan dalam memobilisasi tenaga kerja dan membelokkan kenyataan sosial.
Propaganda sesat ini bermotif ekonomi kolonial, karena rakyat pada umumnya tidak bersedia menjadi alat produksi kolonial untuk menghindari kerja sebagai budak. Seperti kerja rodi, tanam paksa dan sebagainya.
Mentalitas inlander elit kekuasaan seperti itu sampai saat ini tampaknya masih diteruskan dan menjadi karakter elit kekuasaan Indonesia hari ini.
“Elitnya masih sangat-sangat inlander. Mentalnya mental orang terjajah, padahal mereka pejabat. Orang berpendidikan, tapi omongannya mental orang terjajah,” tegas tokoh nasional Dr Rizal Ramli dikutip dari Channel YouTube MRohman Official, belum lama ini.
Lebih jauh berbicara tentang mentalitas inlander ini Rizal Ramli memberikan contoh, beberapa waktu lalu bahkan ada pejabat yang bolak-balik mengatakan bahwa bangsa asing lebih memiliki kemampuan dalam bekerja atau lebih hebat dari kita, seolah-olah bangsa kita untuk pekerjaan biasa saja tidak mampu mengerjakan.
Contoh lain, lanjut Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur itu, ada pula pejabat yang menyebar kebohongan, ingin menghina bangsa sendiri, termasuk mengatakan bahwa pekerja China 3 sampai 8 kali lebih produktif dari bangsa Indonesia.
“Itu penghinaan, nggak bener, dan sangat pro China,” tegasnya.
Faktanya, banyak rakyat Indonesia yang bekerja di pabrik-pabrik Jepang, Korea hingga Eropa memiliki produktivitas yang sama dengan bangsa-bangsa lain.
Menurutnya, pejabat seperti itu sengaja mengembangkan falsity (kepalsuan) bahwa orang Indonesia malas.
“Betul banyak yang malas, tetapi itu karena mereka nggak dikasih kerjaan. Padahal rajin-rajin, bekerja lembur, dan sebagainya. Itu bukan salah mereka nggak ada kerjaan. Itu salah pemerintah dan sistem yang nggak mampu menciptakan lapangan pekerjaan,” tandas ekonom yang dikenal memiliki keberpihakan kepada wong cilik itu.
Menurutnya, jika bangsa Indonesia mau maju, maka mentalitas inlander harus diubah menjadi highlander. Terutama mental di kalangan pejabatnya, karena dengan bermental inlander, para pejabat lebih sibuk memperkaya diri, kelompok dan keluarga, dengan memanfaatkan jabatan dibanding memajukan rakyat dan bangsa sendiri.
Mentalitas highlander yang dimaksud Rizal Ramli tergambar dari cerita sebuah film yang sangat terkenal yang dirilis pada pertengahan tahun 1980-an. Di film itu sang tokoh berjuang mati-matian melawan manusia-manusia jahat.
Rizal Ramli kemudian menyebut contoh beberapa negara yang pemimpinnya memiliki mental highlander. Seperti Lee Kwan Yew (Singapura) hingga Mahathir Mohammad (Malaysia).
Di Malaysia, proyek kereta api cepat dari Kuala Lumpur ke Johor dibatalkan Mahathir. Kemudian ditutup dengan real astate di Johor. Yang boleh beli real estate itu hanya warga Malaysia, Melayu atau keturunan Tionghoa. Tidak boleh warga RRC dari Beijing.
“Mahathir menunjukkan kelas pemimpin highlander. Dia berani bersikap untuk membela rakyat dan bangsanya,” kata Rizal Ramli mencontohkan.
Apakah mentalitas inlander bisa diubah melalui Pemilu 2024?
Rizal Ramli berpendapat, hal itu sulit terjadi. Karena Pemilu 2024 dari awal sudah dirancang bukan untuk perubahan, melainkan untuk melanjutkan oligarki, dinasti, dan mentalitas inlander.
“Karena itu mereka merancang calonnya hanya dua, Jokowi-man, supaya bisa melanjutkan sikap inlander,” ujarnya.
Di ujung wawancara dengan Channel YouTube MRohman Official itu Rizal Ramli juga menekankan bahwa Indonesia sekarang ini apes, karena dipimpin oleh pemimpin-pemimpin bermental inlander yang tidak percaya diri berhadapan dengan dunia internasional, dan mau menjadi alat kekuatan internasional.
Misalnya perusahaan-perusahaan asing besar dibolehkan tidak bayar pajak PPN hingga diberikan tax holiday sampai 30 tahun, yang artinya sama saja dengan menyuruh mereka menguras kekayaan alam Indonesia.
“Mana ada pemimpin dunia yang sedemikian bodoh seperti itu … ” tandas Rizal Ramli menutup obrolan.
[***]