Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Tahun 1977 menjelang Pemilu kedua di bawah Orde Baru, suasana politik nasional menampilkan wajah yang tidak menggembirakan.
Di antara sekian isu yang menonjol saat itu ialah persoalan Timor Timur yang pada 1976 baru berintegrasi ke wilayah RI.
Isu lainnya berkaitan dengan peserta Pemilu 1977 yang untuk pertamakali diikuti oleh tiga partai hasil fusi dari partai-partai sisa Orde Lama. Tiga peserta itu adalah PPP, Golkar, dan PDI.
Isu selanjutnya ialah mulai maraknya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Seperti kasus Pertamina yang melibatkan kroni Soeharto.
Koran Indonesia Raya di bawah Mochtar Lubis waktu misalnya memberitakan kasus ini secara sangat berani yang berujung pada penangkapan wartawan.
Ada pula kasus penyelundupan mobil mewah yang melibatkan keluarga Cendana, penggelapan dana proyek infrastruktur, kasus penyuapan, berkembangnya tren anak pejabat berbisnis, melebarnya jurang kemiskinan, dan praktek-praktek tercela lainnya.
Sementara itu untuk mempertahankan kekuasaan Soeharto membangun tiga benteng yang menjadi sandaran kekuatannya. Yaitu ABRI, birokrasi, dan Golkar.
Undang-undang politik dan sistem pemilihan anggota DPR saat itu disusun untuk mengawetkan kekuasaan Soeharto.
Lebih-lebih Pemilu 1977 dilaksanakan secara curang dan intimidatif. Soeharto yang mengkooptasi ABRI dan mengendalikan birokrasi untuk mem-back-up Golkar menghalalkan segala cara untuk memenangkan Pemilu.
Sementara itu Sidang Umum MPR bulan Maret 1978 disiapkan untuk mengangkat dirinya untuk ketigakali menjadi Presiden RI.
Akumulasi dari segelintir contoh-contoh kondisi ini menimbulkan sikap kritis para mahasiswa ITB. Termasuk Rizal Ramli yang saat itu merupakan Deputi Dewan Mahasiswa ITB.
Merespon arah bernegara yang kian melenceng dari konstitusi dan kehidupan demokrasi ini Rizal Ramli dan para mahasiswa ITB dengan didukung para mahasiswa dari universitas lainnya di Bandung dan sekitarnya, memutuskan untuk menyatakan sikap dengan melakukan Ikrar Mahasiswa Indonesia, bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, pada 28 Oktober 1977.
Seluruh mahasiswa yang berasal dari kampus di Bandung dan sekitarnya berkumpul di ITB menyatakan menolak Soeharto untuk kembali menjadi presiden, dan mengecam pembangunan ala Orde Baru yang melenceng dari konstitusi.
Aksi besar serupa berlanjut pada 10 November 1977, berlokasi di Taman Makam Pahlawan Cikutra, dengan tema Kepadamu Pahlawan Kami Mengadu.
Untuk meredam aksi-aksi ini Soeharto antara lain memerintahkan tujuh menterinya turun langsung ke kampus-kampus untuk berdialog dengan mahasiswa.
Di antara menteri-menteri tersebut adalah Ali Wardana, Radius Prawiro, JB Sumarlin, Sumitro Djojohadikusumo, Mohamad Sadli, dan Sjarief Thajeb.
Namun upaya persuasif ini tidak direspon. Mahasiswa menolak berdialog. Di Kampus seperti Universitas Padjadjaran misalnya mahasiswa melakukan Aksi Bengong, dengan meninggalkan aula secara beramai-ramai ketika para menteri tersebut tiba.
16 Januari 1978 demonstrasi besar mahasiswa kembali menggelinding menjadi kekuatan moral yang tidak terbendung. Gelora perlawanan terhadap Soeharto bergema keras.
Pada tanggal itu pula Buku Putih Perjuangan Mahasiswa ITB yang salah satu konseptornya adalah Rizal Ramli mulai diedarkan.
Banyak kalangan menilai Buku Putih ini merupakan mile stone penting dalam sejarah perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru.
Peneliti dari Cornel University, Bennedict Anderson, misalnya, menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Inggris, yang kemudian diterjemahkan ke dalam delapan bahasa asing.
Nama-nama lain konseptor Buku Putih Perjuangan Mahasiswa ITB adalah Irzadi Mirwan, Abdul Rachim Kresno, dan Yosep Manurung.
Abdul Rachim Kresno, seperti halnya Irzadi Mirwan adalah sahabat dekat Rizal Ramli. Adi atau Irzadi Mirwan adalah teman sekolah Rizal Ramli di SMAN 2 Bogor. Keduanya sama-sama melanjutkan jenjang pendidikan tinggi di ITB, angkatan 1973.
Adi mengambil jurusan pertambangan, sedangkan Rizal Ramli menempuh fisika murni. Adapun Abdul Rachim Kresno, kakak kelas Rizal Ramli di ITB di jurusan teknik elektro, angkatan 1972.
Abdul Rachim Kresno atau biasa disapa Miming, wafat Rabu malam kemarin, 5 April, sekitar pukul 20.45 WIB, di Bekasi, karena sakit.
Mendiang adalah salah satu teman seiring Rizal Ramli dalam perjuangan melawan otoritarianisme Soeharto.
Sejak dari memimpin berbagai aksi demonstrasi mahasiswa secara kolosal, dikejar-kejar aparat, kampus ITB diduduki tentara, hingga sama-sama meringkuk di Penjara Sukamiskin, Bandung.
Rizal Ramli sendiri dijatuhi hukuman penjara selama satu setengah tahun akibat perjuangannya dalam menegakkan demokrasi itu.
Suatu hari tatkala kampus ITB diduduki aparat selama kurang lebih tiga bulan lamanya Abdul Rachim Kresno menceritakan pengalamannya saat dikejar-kejar aparat yang hendak menangkapnya.
“Saya berboncengan motor dengan Irzadi, di belakang kami tentara mengejar-ngejar sambil bawa pistol dan senapan. Saya berusaha masuk gang kecil. Karena ngebut kami terjatuh dari motor. Irzadi lari, saya pun lari. Motor kami tinggalkan begitu saja di jalanan. Saya masuk gang, banyak masyarakat yang menolong dan mencoba membantu, karena mereka tahu kami mahasiswa. Eh, tapi saya sudah dikepung sama aparat, akhirnya saya ditangkap,” kenang Abdul Rachim Kresno sambil tertawa.
Buku Putih yang disusun Rizal Ramli, Abdul Rachim Kresno, Irzadi Mirwan, dan Yosep Manurung isinya sangat sederhana tapi sistematis. Ditulis dalam bahasa yang lugas, memaparkan kritik tajam terhadap kondisi politik dan ekonomi nasional saat itu.
Bentuk fisiknya juga sederhana. Terdiri dari 40 halaman kertas HVS yang dicetak secara stensilan. Covernya terbuat dari kertas putih biasa, bertuliskan ‘’Buku Putih Perjuangan Mahasiswa ITB’’, dengan ilustrasi sketsa wajah, bunga, dan pohon.
Disertai gambar cungkup sebuah pendopo dengan dua burung merpati yang sedang terbang, yang digambar sendiri oleh mahasiswa ITB.
Namun itulah satu-satunya masterpiece, karya tulis, dari gerakan aksi mahasiswa Indonesia dalam menentang otoritarianisme Soeharto.
Tradisi menulis buku berisi pernyataan sikap dengan metodelogi yang cerdas sebagai bagian dari aksi mahasiswa hingga kini sesungguhnya masih merupakan hal yang langka.
Tradisi intelektual patriotik itu justru telah dicontohkan oleh Rizal Ramli, Abdul Rachim Kresno, Irzadi Mirwan, dan Yosep Manurung, 45 tahun yang lalu.
[***]