Artikel ini ditulis oleh Waworuntu Manalo, Penulis adalah pemerhati sosial politik.
Ada rasa haru melihat dia berdiri. Di ruang sidang pagi hari itu. Kamis, tanggal 27 Juli 2023. Rizal berdiri di sana, bukan sebagai tersangka korupsi, yang sekian tahun sesudah masa reformasi ini menjadi laku menjengkelkan sekian orang penting. Merusak rasa percaya diri kita sebagai bangsa. Oleh karena mereka datang dari kursi serta bilik penuh hormat, penuh pengharapan, tempat semua kita menaruh mimpi.
Dari para birokrat, politisi, sejumlah menteri, bahkan oknum para mahaguru dari perguruan tinggi, yang membekali kita bukan hanya dengan sekian ilmu pengetahuan, tapi juga mengajari kita tentang betapa mulianya moral. Orang-orang dari dunia terang, yang lakunya menggelapi keluhuran pekerti, yang diajarkan di bangku sekolah, serta petuah para orang tua kita.
Rizal berdiri di ruang Mahkamah Konstitusi itu, sebagai terang. Yang menerangkan sekian soal yang terasa gelap bagi kita. Sebagai saksi ahli. Bagi kaum buruh. Yang merasa masa depannya bakal murung oleh Undang-undang Omnibus Law. Sebuah beleid yang disambut hujan protes di jalanan pada rentang Oktober hingga November 2020.
Rizal yang berbicara di podium ruang sidang itu, sepintas bukan Rizal yang kita kenal dari cuitannya di linimassa. Tempat gagasan serta argumen menjadi sekedar cericit. Kata dibatasi. Huruf dipentok. Sulit menyelipkan konteks. Nyaris fakir data. Apalagi sentuhan rasa.
Hari itu, Rizal tampil dengan dress code resmi. Hem dibalut jas. Berdasi. Berbicara di podium berlambang Garuda. Nada suara pelan. Kadang sejenak berjeda. Seperti memberi kita sekian detik demi mencerna. Wajahnya tenang. Dia mengurai alasan pemerintah menerbitkan aturan yang memicu kontroversi itu.
Pemerintah, kata Rizal, menerbitkan regulasi ini dengan dua alasan pokok. Situasi ekonomi genting dan meringkas regulasi yang begitu berliku. Yang mempersulit masuknya investasi. Para pemilik uang. Dia lalu menguraikan dua alasan itu. Satu demi satu. Serta mengarahkan pikiran kita pada sekian angka, data, serta contoh demi memudahkan kita mencerna. Sebab, angka seringkali lebih punya bunyi ketimbang beribu kata.
Situasi ekonomi, lanjut Rizal mengutip alasan pemerintah sebagaimana yang ramai diberitakan media, genting karena murungnya ekonomi dunia, dan bencana Covid yang mengurung kita.
Dua alasan itu, lanjutnya, sepintas masuk akal, tapi jika kita menyelam lebih dalam kepada angka dan data, keduanya sama-sama terlihat lemah. Sebab, kata Rizal, antara tahun 2020-2023 ekonomi tumbuh sekitar 5 persen. Ekonomi dengan pertumbuhan sebesar itu, sungguhlah bukan pantulan dari kegentingan sebuah keadaan.
Situasi ekonomi sebuah negara bisa disebut genting, terang doktor lulusan dari Boston Amerika Serikat ini, jika mengalami pertumbuhan negatif. Yang secara umum disebut resesi.
Dia lalu memberi contoh yang mudah bagi kita. Tentang situasi ekonomi tahun 1998. Ekonomi yang tahun-tahun sebelumnya rata-rata tumbuh enam persen, anjlok ke minus 12,7 persen. Situasi tahun 1998 itu jelas genting. Perlu jurus yang luar biasa. Agar bangkit.
Alasan kedua yang sering disampaikan para pejabat kita, lanjut Rizal, adalah bahwa UU Omnibus diperlukan untuk meringkas perijinan, birokrasi yang ruwet, dan peraturan yang terkadang tumpang tindih. Bila disederhanakan maka investasi akan terkerek.
Alasan ini, jelas Rizal, masuk akal dan sungguhlah mulia. Karena memang banyak keluhan tentang birokrasi kita. Begitu ruwet. Serta keluhan tentang regulasi yang saling menindih.
Tapi Omninus Law ini, terang Rizal, malah bikin situasi semakin ruwet. Semakin kompleks. Tebal hampir seribu halaman. Dengan penjelasan ratusan halaman. Punya kemungkinan conflicting ideas. Sehingga untuk memahami undang-undang ini, perusahaan besar perlu menyewa konsultan hukum yang mahal.
Jika perusahaan raksasa yang para pengelolannya penuh orang profesional sulit paham, lanjut Rizal, apalagi usaha kecil yang berjumlah puluhan juta yang tersebar di banyak daerah.
Dalam sidang di Mahkamah Konstitusi itu, pada sesi pendalaman, kepada Rizal perwakilan pemerintah bertanya tentang indikasi—selain pertumbuhan ekonomi, untuk menyebut negara dalam situasi krisis ekonomi. Rizal yang sudah duduk di barisan kuasa hukum para buruh, menjawab pertanyaan itu dengan tenang.
Sejenak dia melihat kertas di meja. Tapi sebagai ekonom yang pernah menjadi penasihat ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Rizal sesungguhnya tidak memerlukan catatan demi menjawab pertanyaan ini. Dia mengangkat wajahnya. Berterima kasih kepada hakim. Lalu dengan tenang memberi jawaban.
Secara umum, jelas Rizal, memang pertumbuhan ekonomi yang paling penting. Kalau ekonomi tumbuh di bawah nol persen, atau negatif, itu sudah disebut resesi. Kalau itu yang terjadi, bahkan di negara maju, negara punya hak mengambil tindakan besar. Agar ekonomi rebound. Sebagai misal, ekonomi Amerika Serikat diperkirakan akan resesi, maka pemerintah mengeluarkan US$ 3,5 trilun, agar ekonomi bangkit kembali.
Sementara situasi ekonomi kita tidak sedang genting. Memang ada slow down dalam konsumsi terutama selama masa covid, ada pelambatan dalam kegiatan ekonomi, tapi sektor lain tetap tumbuh. Tumbuh sekitar 4 persen dan belakangan 5 persen. Angka-angka ini jelas bukan lahir dari sebuah kegentingan.
Keadaan ekonomi, tambahnya, juga bisa dikatakan genting kalau terjadi monetary crisis. Misalnya, nilai tukar rupiah anjlok dari 15 ribu ke 20 ribu per dolar. Ini ekonomi sudah demam. Goncangan luar biasa. Perlu tindakan ekstra. Agar ekonomi tenang. Perlu langkah besar pemulihan.
Atau terjadi fiscal crunch. Budget pemerintah bolongnya besar sekali. Kebablasan. Sehingga punya dampak pada pelayanan publik, bahkan untuk menyediakan hal-hal dasar saja pemerintah tidak sanggup. Kalau ini terjadi, jelas situasi genting. Memerlukan langkah besar. Solusi yang tak biasa.
Tapi langkah-langkah besar itu, lanjutnya, tidak harus datang dalam wujud Omnibus Law. Banyak cara lain yang bisa ditempuh. Rizal lalu berkisah tentang bagaimana pemerintahan Abdurrahman Wahid, memulihkan ekonomi dari keterpurukan, setelah keguncangan politik tahun 1998, dan peralihan dari Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie kepada Gus Dur.
Rizal yang saat itu dipercaya Gus Dur menjadi Menteri Kordinator Perekonomian, berusaha memulihkan ekonomi dengan banyak cara. Salah satunya memompa daya beli. Gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota Polri, dan anggota TNI dinaikkan 125%. Sehingga mereka punya uang tambahan untuk belanja di warung-warung. Berhasil. Ekonomi tumbuh. Dari 0,79 jadi 4,92 persen. Pompa daya beli ini secara teori benar dan dilakukan banyak negara.
Cara lain adalah meringankan beban rakyat. Pada masa Gus Dur, kisah Rizal, pemerintah diwarisi masalah utang para petani. Kredit macet usaha tani. Bunga berbunga membengkak menjadi Rp.26 triliun. Lantaran tak kunjung bayar, petani ditagih Pak Lurah. Ditagih petugas. Bila tak bayar, tanah mereka bisa disita. Ini situasi sulit. Banyak petani terancam hilang sawah.
Rizal lalu menghadap Gus Dur. Curhat soal utang para petani itu. Rizal paham benar, guru politik, guru demokrasi, guru pluralisme, yang juga adalah sahabatnya itu, bakal tak rela petak sawah petani disita. Reformasi macam apa yang sedang kita lakukan, jika banyak tanah ratusan ribu petani disita. Lagipula, “Kalau kita sita semua tanah itu, terus mau kita apakan,” kata Rizal kepada Gus Dur. Rizal menyarankan agar utang itu dihapus saja.
Kisah persahabatan Gus Dur dan Rizal Ramli, adalah kisah tentang orang-orang yang berhati sama. Bernyali. Untuk rakyat. Tentang bangsa. Sama-sama anti korupsi. Entah karena paham benar tentang Rizal itu, setelah tak lagi menjadi Presiden, ramai diberitakan Gus Dur mendukung Rizal ke pucuk kekuasaan.
Sebuah media massa nasional, pada tanggal 22 September 2008, menulis dengan judul: Gus Dur Dukung Rizal Ramli Nyapres.
Sikap sama-sama keras terhadap korupsi itu, juga dicatat oleh Mahfud MD, yang kini menjadi Menkopohulkam. Pada hari ketika Gus Dur wafat, cuitan Mahfud di akun twitternya adalah kesaksian tentang betapa Gus Dur begitu mencintai negeri ini. Begitu anti korupsi.
Mahfud kagum dengan cara Gus mengangkat para menteri. Banyak orang professional. Idealis dan tegas. Mahfud, oleh Gus Dur, saat itu didapuk menjadi Menteri Pertahanan. Posisi yang jarang diisi oleh sipil.
Dalam cuitan itu, Mahfud bercerita tentang keberanian Gus Dur mengangkat Rizal Ramli sebagai Menteri Keuangan dan Marsilam Simanjuntak sebagai Jaksa Agung. Dua orang ini, kata Mahfud, sama-sama keras terhadap korupsi.
Pada hari wafatnya Gus Dur itu, sebuah media massa nasional menulis berita dengan judul: Mahfud MD sebut Gus Dur dan Rizal Ramli Sama Kerasnya Berantas Korupsi: Pokoknya Sikat.
Orang-orang seperti Gus Dur, dan juga Rizal Ramli, lama di pergerakan anti korupsi, paham betul modus dan jalan meliuk para koruptor. Mereka juga paham, kalau para petani menunggak pinjaman, itu bukan karena mereka menilep. Musim kadang tak berpihak. Situasi kadang menindas. Lintah darat. Tukang ijon. Maka ketika Rizal curhat soal tunggakan Rp.26 triliun itu, atasannya ini setuju utang itu dihapus.
Tapi Gus Dur mengingatkan, “Rizal, itu uang besar lho. Kamu bisa masuk penjara kalau dihapuskan.” Rizal menjawab pasrah, “Gus, silahkan kalau ada yang mau menangkap saya. Seperak pun saya tak dapat untung.” Gus Dur juga yakin. Utang para petani itu dihapus.
Pagi itu, di ruang Mahkamah Konstitusi itu, Rizal tentu tidak sedang bercerita tentang bagaimana murungnya nasib para petani. Dia sedang memberitahu kita. Tentang cara menuntaskan soal. Cari jalan keluar. Dari situasi sulit.
Yang rumus serta ilmunya dipahami banyak orang pinter negeri ini.
Tapi tidak semua orang setia pada ilmu. Meski untuk itu mereka belajar bertahun. Kesetiaan itulah yang membuat Rizal jauh melampaui keahliannya berkisah tentang angka dan data di ruang sidang Omnibus Law itu. Dia setia pada pengetahuan. Yang dia pelajari dari bangku sekolah di Bogor, ITB, hingga bangku kuliah di Boston, nun di negeri Barack Obama itu.
Dia seorang penggemar berat Albert Eistein. Jatuh cinta pada matematika. Dan melihat ilmu berhitung sebagai jalan memahami kerumitan bilangan ekonomi. Di tangan Rizal, ilmu tidak digunakan untuk membedaki angka, meriasi keuangan demi terlihat permai, tapi menghapus bedak itu, sehingga kita yang gelap pengetahuan bisa melihat wajah asli sebuah keadaan. Selain kecerdasan, yang dibutuhkan di situ, adalah keberanian. Untuk bicara.
Dan semenjak di bangku kuliah di Bandung itu, Rizal sudah terlatih untuk berani. Sepanjang hidup, hingga hari ini, cerita tentang Rizal adalah cerita tentang keberanian. Berani kritik. Meski seperti memukul baja.
Meski, oleh karena itu, dia kehilangan banyak hal, kehilangan jabatan, serta panen brisik para pendengung.
Ketika hampir kita semua mengangguk kepada target pembangunan listrik 35 ribu megawatt sekian tahun silam, Rizal menyebut angka itu terlampau ambisius. Tidak realistis. Dia berjanji merivisi target ini.
Janji itu disampaikan Rizal hanya berselang sekian hari setelah dia dilantik menjadi Menko Maritim oleh Presiden Joko Widodo. Angka yang realistis, kata Rizal, adalah 16 ribu megawatt. Target 35 ribu, kata dia, itu seperti mendorong keuangan PLN ke zona merah. Rugi tak berdaya.
Kita kemudian menghujat Rizal sebagai tukang bikin gaduh. Dari dalam pemerintahan pula. Tapi kita gagal menangkap esensi dari sebuah hitungan. Dari angka-angka yang dituturkan Rizal. Dan kegagalan itu, harus kita lunasi di kemudian hari. Nafas PLN yang tersengal.
Pada jaman yang serba dijari ini, tak sulit membuktikan hitungan Rizal salah atau benar. Masuk saja ke mesin pencari.
Ketik: PLN rugi karena 35 ribu megawatt, biang kerok kelebihan listrik PLN, biang kerok listrik RI banyak nganggur, atau masuk dengan kata kunci serupa. Media massa kita ramai melukiskan nasib PLN dengan aneka kata kunci itu semenjak tahun 2018 hingga 2023 ini, sekian tahun sesudah Rizal didepak dari kursi menteri.
Begitu juga dengan Garuda Indonesia. Yang dikritik Rizal, sebab berniat membeli pesawat jarak jauh berbadan besar. Untuk rute perjalanan panjang. Terbang ke negeri jauh. Rizal bilang, rencana itu tidak realistis. Lantaran pada rute panjang itu, kita bakal keok bersaing dengan raksasa penerbangan dunia. Fokus saja pada penerbangan domestik. Juga regional. Bila sudah perkasa, silahkan terbang melintasi benua.
Pembelian pesawat berbadan besar itu kemudian batal. Diganti pesawat jenis lain. Tapi Rizal sesungguhnya tidak sekedar bicara soal pesawat. Dia memberi tahu kita tentang cara mengurus sesuatu. Jika cara kita salah, arah terbang punya kemungkinan tersesat. Dan silahkan masuk ke mesin pencari lagi, demi mengetahui nasib Garuda Indonesia ini, sebelum akhirnya Menteri BUMN Erick Thohir datang sebagai penyelamat.
Langkah Erick itu, dipuji Rizal Ramli. Rizal, memang bukanlah kita. Yang bicara, agar disanjung. Yang setia, agar dicinta. Dia adalah jenis orang yang setia, meski kehilangan. Termasuk kehilangan kebebasan. Dan, segenap keriangan masa muda.
Nun jauh ditahun 1978, dia adalah satu dari sekian mahasiswa yang lantang mengkritik Orde Baru. Pimpin massa turun ke jalan. Protes. Atas cara mengelola negara, yang menaruh rakyat sebagai penunggu. Menunggu tetesan yang dijanjikan pertumbuhan.
Meski oleh karena semua itu, Rizal kehilangan udara bebas. Bersama sejumlah kawannya, dia dijebloskan ke penjara Sukamiskin. Meringkuk di bui. Selama satu setengah tahun. Ciutkah nyalinya? Tidak juga.
Dari kota dingin Bandung itu, dia sempat ke Jepang, kuliah di Amerika hingga doktor. Lalu pulang dengan paket komplit. Ilmu, ketajaman berhitung, serta keluasan jaringan.
Jusuf Kalla, mantan wakil presiden yang pernah berseteru dengan Rizal, dalam acara Halagah Satu Abad NU- 3 Desember 2021, yang juga dihadiri Rizal, menilai ayah tiga anak itu adalah seorang pemikir tangguh.
Cuma Pak Rizal, lanjut JK, tidak pergunakan untuk bisnis. “Kalau dipergunakan untuk bisnis, Rizal bisa menjadi pengusaha sukses.”
Rizal memang mungkin tidak berbakat menjadi pengusaha. Tidak berbakat juga menjadi kaya. Meski peluang terbuka lebar. Pernah menduduki kursi yang oleh sejumlah orang disebut basah: Kepala Bulog, Menteri Keuangan, Menko Perekonomian, dan Menteri BUMN. Dari ketinggian sekian kursi itu, Rizal justru seperti diberi kesempatan untuk melihat. Melihat ketidakadilan. Melihat ketimpangan. Antara berpunya dan tidak. Kesenjangan antara kaya dan miskin.
Mungkin itulah sebabnya, Rizal-tentu atas perintah Gus Dur- berusaha menekan index ratio gini. Indeks yang diyakini merekam tingkat kesenjangan ekonomi itu, berhasil ditekan. Dari 0,37 tahun 1999 menjadi 0,31 pada masa Gus Dur. Makin mendekati nol, distribusi pendapatan ekonomi sebuah negara dinilai makin merata. Berapa rasio gini, sesudah masa Gus Dur? Gerakan saja jemarimu ke mesin pencari. Mulailah membaca.
Rizal Ramli dan keberpihakan pada orang-orang kecil, bukankah kisah kemarin sore, yang mendadak muncul, foto bersama, agar dicinta, atau dianggap mencinta. Berdiri di barisan rakyat itu sudah berusia 46 tahun. Dan itu tak luntur digoda kursi dan uang.
Kamis, ujung Juli lalu, di ruang sidang Mahkamah Konstitusi itu, Rizal yang tegak berdiri di barisan buruh, berkisah bahwa ketidakadilan, ketimpangan, bisa berhulu dari sebuah beleid seperti Omnibus Law. Oleh karena itu, nada suara Rizal terdengar rendah dan pelan, “Kami percaya, selain logika hukum, bapak hakim juga memakai hati, berpihak kepada mayoritas rakyat kita, kepada puluhan juta kaum buruh, yang nyaris tidak punya pegangan seumur hidup.”
[***]