Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
KORAN Buana Minggu, edisi 27 Juni 1976, memuat memorabilia tentang optimisme Mohamad Husni Thamrin mengenai semakin mendekatnya kemerdekaan Indonesia.
Dalam makan malam bersama para kemenakannya di Kampung Sawah Besar, Jakarta, awal tahun 1940-an, tokoh Parindra yang juga mentor Sukarno itu berkata:
“Tidak lama lagi tentara Jepang akan mendarat di Indonesia. Jadi nanti kita akan pindah ke sana,” kata Thamrin sambil menunjuk ke arah Istana Gubernur Jenderal di Jalan Koningsplein atau Istana Merdeka, sekarang.
Optimisme Thamrin akan terjadinya perubahan ini didasari oleh situasi geopolitik dan Perang Dunia Kedua saat itu, dimana Jepang sedang merajai perang Asia Timur Raya.
Jepang yang menduduki tanah air, 1942, akhirnya dikalahkan oleh Sekutu pada Agustus 1945. Situasi ini kemudian mendorong tercetusnya kemerdekaan Indonesia.
Waktu diasingkan di Ende, Flores, Sukarno memperkirakan pula hal yang sama.
Udara kemerdekaan yang akan membebaskan rakyat dari penjajahan dan penindasan itu bahkan dilukiskan dalam sebuah lagu, berjudul “Di Timur Matahari Mulai Bercahya”.
Prediksi akan datangnya perubahan oleh para tokoh bangsa ini bukan hanya didasari oleh situasi geopolitik dan Perang Dunia Kedua, kehendak untuk merdeka juga bergejolak di sanubari rakyat yang sejak tahun 1930-an kian terpukul oleh tekanan ekonomi akibat dampak Malaise.
Malaise atau Great Depression ialah era depresi ekonomi dunia. Dalam lidah Melayu Zaman Malaise kemudian disebut sebagai Zaman Meleset.
Di era menjelang kedatangan Jepang (termasuk pada saat pendudukan Jepang) rakyat jelata tiada ubahnya hidup bagaikan rakyat melata.
Koran-koran pada masa itu memuat banyak berita mengenai penderitaan rakyat.
Di antaranya koran Pertja Selatan, edisi 7 Mei menulis, orang lebih suka tinggal di bui karena mendapat makan tiga kali sehari. Di banyak tempat bahan makanan sulit didapat, sehingga terpaksa makan jantung pisang.
Koran Aksi, edisi 14 November melaporkan, tingkat pencurian dan gantung diri akibat frustrasi sosial di dalam masyarakat cukup tinggi. Supaya dapat bertahan hidup dan bisa makan tak jarang rakyat miskin menjual anaknya sendiri.
Sedangkan koran Sin Po, edisi 23 Januari mengabarkan, banyak pegadaian penuh. Semua orang menggadaikan barang, tetapi tidak ada satu pun yang menebusnya.
Apakah bedanya dengan keadaan sekarang ? Dimana kini penderitaan rakyat malah ditutup-tutupi oleh media massa mainstream, termasuk televisi pro penguasa, sehingga kenyataan yang sebenarnya tiada nampak terbaca oleh publik ?
Teori cyclical dalam historical science menyebut sejarah dapat berulang dengan peristiwa berbeda tetapi esensinya sama, itulah yang sedang terjadi di negeri ini hari ini.
Tokoh nasional Dr Rizal Ramli belum lama ini juga telah memperingatkan akan terjadinya perubahan yang tak bisa lagi dihindari, karena kian bertumpuknya anomali yang terjadi.
Menurutnya, hari ini kondisi ekonomi rakyat sangat berat. Lebih sulit dari April dan Mei 1998, daya beli masyarakat terus dirontokkan oleh kenaikan harga-harga.
Kondisi ekonomi yang mengundang kesengsaraan ini, menurutnya, telah membuat para mahasiswa, kalangan emak-emak, para aktivis, dan warga masyarakat biasa menjadi marah.
Sistem otoriter terjadi lagi, KKN tumbuh subur, dan rezim sangat pro kepada Beijing.
Rizal Ramli juga menyebut kondisi ekonomi saat ini punya kemiripan dengan situasi ekonomi tahun 1998. Dimana terjadi kelangkaan sejumlah bahan pokok, BBM naik, krisis perbankan, hingga APBN mengalami kebocoran, ditambah pula krisis hutang yang menggunung.
Ironisnya kalau dulu dalam menghadapi situasi seperti ini Soeharto lebih memilih lengser keprabon, karena tidak menginginkan lebih banyak lagi rakyat yang jatuh menjadi korban, penguasa hari ini justru bersikap ndableg.
Meski faktanya sudah bagaikan bebek lumpuh (sitting duck) dengan berbagai keputusan yang diambil lebih banyak bersifat ngasal.
[***]