KEPALA Staf Kepresidenan Moeldoko membuat pernyataan jujur dan mengejutkan. Dia bilang, istana tidak lagi memerlukan ‘buzzer’ alias para penggonggong.
Saya lebih suka menyebut mereka dengan penggonggong. Bukankah perilaku orang-orang ini bak anjing yang menggonggong untuk melindungi tuannnya?
Pada bagian lain, pensiunan jenderal bintang empat ini mengaku sudah menemui sejumlah penggonggong berpengaruh. Disebut berpengaruh karena para binatang, eh manusia ini punya banyak follower di akun medsos masing-masing.
Pada pertemuan tersebut, Moeldoko mengaku sudah meminta para buzzer Jokowi bersifat lebih dewasa dan tidak emosional ketika merespons sesuatu hal. Namun, katanya lagi, terkadang imbauan tadi sulit dipraktikkan karena sudah terpolarisasi sejak pilpres lalu.
Sampai di sini kita menghargai kejujuran Moeldoko soal eksistensi para penggonggong. Namun aksi lempar handuk ala Moeldoko terhadap sepak terjang para penggonggong Istana jelas menggelikan.
Dia pikir rakyat NKRI terlalu dungu sehingga bisa dikibulin dan percaya dengan dalih yang dia sodorkan. Lain halnya jika mantan Panglima TNI ini bicara dengan anak-anak TK, mungkin saja dipercaya.
Sulit menampik bukti
Hari-hari ini Istana kian kerepotan menampik keberadaan dan polah gerombolan penggonggongnya. Terbitnya laporan penelitian karya Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard dari Universitas Oxford benar-benar membungkam Istana.
Laporan seru itu bertajuk ‘The Global Disinformation Order: 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation’ atau ‘Orde Disinformasi Global: Informasi Global tentang Manipulasi Media Sosial Terorganisir 2019’.
Sejatinya banyak pihak yang jauh-jauh hari sudah menduga Istana memelihara banyak anjing penggonggong. Diduga jumlahnya bisa ratusan, bahkan mungkin ribuan. Masing masing punya akun puluhan sampai ratusan.
Ciri utama para penggonggong itu adalah, memuji-muji Jokowi setinggi langit bak dewa tanpa cela. Pada saat yang sama, mereka beramai-ramai membantai lawan politik Presiden dan atau pengeritiknya tanpa ampun. Untuk keperluan itu, gerombolan ini tidak segan-segan menebar fitnah, ujaran kebencian, dan hoax.
Aksi tebar fitnah, ujaran kebencian, dan hoax mereka lakukan dengan sangat massif dan berkelanjutan, sambung-menyambung. Mereka terus-menerus membantai sampai ada perintah berhenti dari komandan atau yang mereka sebut sebagai ‘kakak pembina’. Itulah sebabnya banyak kalangan menilai anjing-anjing penggonggong tersebut sudah merusak demokrasi.
Dua karya teranyar para buzzer tadi adalah penyebaran hoax dan fitnah terhadap ambulan milik Pemprov DKI Jakarta yang disebut membawa batu dan bensin saat aksi massa di sekitar Gedung MPR/DPR.
Fitnah dan hoax lainnya, tangkapan layar grup WhatsApp pelajar STM yang seolah-olah mereka dijanjikan bayaran pihak tertentu. Namun setelah ditelusuri, ternyata nomor-nomor telepon di grup itu diduga milik anggota Polri. Salah satu nomor telepon di grup WA itu punya tagihan bulanan hingga Rp4 juta lebih. Ngomong-ngomong, anak STM mana yang punya tagihan hp Rp4 juta lebih sebulan, ya?
Dua skandal hasil karya kawanan ini, tentu saja, menjadi bagian dari upaya membela Jokowi sekaligus membusukkan lawan politiknya. Sekali lagi, mereka tidak peduli walau harus memproduksi dan menebar ujaran kebencian, hoax, dan fitnah, bahkan kendati yang difitnah adalah anak-anak STM!
Tokoh nasional dan juga begawan ekonomi Rizal Ramli adalah satu di antara yang sangat terganggu. September tahun silam dia bahkan sudah mengingatkan agar Jokowi menghentikan atau setidaknya menertibkan para buzzer-nya.
Menurut RR, begitu dia biasa disapa, apa yang dilakukan para penggonggong benar-benar merusak demokrasi. Demokrasi yang seharusnya membuka ruang bagi perbedaan pendapat, di tangan Jokowi dan para penggonggongnya berubah jadi merusak dan menghancurkan.
Menyimpan bangkai
Tentu saja, Istana (terpaksa) bolak-balik membantah tudingan tadi. Bahkan dengan mimik tanpa dosa, Jokowi meminta rakyat Indonesia agar tidak membuat dan menyebar hoax. Dia juga mengimbau rakyat tidak termakan hoax yang beredar di dunia maya.
Tidak sampai di situ, polisi juga gencar meneriakkan buruknya hoax. Aparat berseragam cokelat yang sering dijuluki para demonstran dan aktivis dengan wercok alias wereng coklat ini rajin menangkapi pegiat medsos yang dianggap menebar hoax dan atau ujaran kebencian. Katanya untuk menegakkan perundangan.
Sayangnya, berkali-kali orang-orang yang dicokok polisi adalah mereka yang kritis terhadap rezim berkuasa. Sementara para penggonggong yang justru terbukti jauh lebih aktif dan massif menebar hoax, fitnah, dan ujaran kebencian tetap aman sejahtera sentosa.
Tapi, serapi-rapinya menutupi bangkai akhirnya akan tercium juga baunya. Begitu kata pepatah bijak. Hal ini pula yang terjadi dengan fenomena anjing-anjing penggonggong Istana. Pernyataan Moeldoko bahwa Istana sudah tidak membutuhkan para buzzer adalah konfirmasi yang sempurna atas sinyalemen dan kritik banyak pihak seputar para makhluk-makhluk menjijikkan ini.
Suka tidak suka, pernyataan Moeldoko mengkonfirmasi beberapa hal, antara lain:
Pertama, selama ini Istana punya dan memelihara banyak anjing penggonggong.
Kedua, selama ini Istana bisa dan biasa memproduksi fitnah serta menebar kebencian, dan hoax lewat gerombolan penggonggongnya.
Ketiga, selama ini Istana terbukti menjadi raja munafik. Sibuk berteriak-teriak agar rakyat jangan menebar hoax dan fitnah di medsos, ternyata justru Istana adalah produsen dan penyebar hoax yang paling sempurna.
Keempat, selama ini polisi berlagak budek dan picek kalau menyangkut para penggonggong Istana. Walau mereka menebar fitnah dan hoax, walau sudah dilaporkan, tetap sama sekali tak disentuh hukum.
Penolakan polisi memproses laporan terhadap Denny Siregar yang menebar fitnah terhadap ambulan milik Pemprov DKI, adalah contoh sempurna wercok menjadi bagian dari penjaga kekuasaan.
Kelima, Permadi Arya, Denny Siregar, Eko Kunthadi, MoertadhoOne, Seword, dan masih banyak yang lain adalah sedikit contoh dari anjing-anjing penggonggong Istana yang kebal hukum di era rezim Jokowi.
Keenam, pasal-pasal karet UU ITE yang sangar dan sadis itu, jadi omong kosong saat berhadapan dengan penggonggong Istana. Tajam ke oposan dan para pengritik rezim, tapi tumpul bagi anjing-anjing penggonggong Istana.
Ketujuh, Istana menganut prinsip habis manis sepah dibuang. Ucapan Moeldoko dengan sangat benderang bisa dimaknai sebagai ‘Kini saatnya membuang para buzzer.’
Kedelapan, para penggonggong kini (sebentar lagi?) jadi pengangguran. Mereka tidak bisa makan karena uang gonggongan dihentikan.
Kesembilan, ini yang tak kalah penting, rasain lu.
Oleh Edy Mulyadi, wartawan senior