KedaiPena.Com – Pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 diprediksi bakal lama. Pasalnya, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani hanya mengandalkan stimulus yang lebih besar dengan cara meminjam lebih banyak dengan bunga lebih tinggi untuk menutup dan memompa ekonomi.
Ekonomi Senior Rizal Ramli menilai, pelonggaran defisit dari maksimum 3% GDP menjadi 5% GDP adalah skenario untuk memperkuat argumentasi bahwa Indonesia membutuhkan dana pinjaman. Padahal, menurut mantan Anggota Tim Panel Ekonomi PBB itu, ada langkah jitu agar percepatan recovery segera terealisasi tanpa harus berutang.
“Langkah menambah utang sebetulnya tidak tepat,” tegas Rizal Ramli, Jumat (8/5/2020).
Rizal Ramli pun menjelaskan beberapa solusi dalam menagani dampak pandemi Corona terhadap perekonomian tanpa menambah utang.
“Pertama, pemerintah bisa gunakan sisa-sisa anggaran lalu meliputi SAL (Saldo Anggaran Lebih) SiLPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) yang ada di Bank Indonesia. Jumlahnya Rp 290 triliun,” ungkap mantan Anggota Tim Panel Bidang Ekonomi PBB itu.
Kedua, sambung Rizal Ramli, penghematan Menteri Pertahanan Prabowo dalam pembelian alutsista.
“Karena yang ‘mark up‘ tinggi tidak ditandatangani. Penghematan itu Rp 50 triliun,” jelas Rizal.
Ketiga, pemerintah harus menghentikan proyek-proyek infrastruktur besar yang belum begitu penting. Bahkan, termasuk proyek ibukota baru.
“Dulu waktu krisis 1998, kita juga melakukan itu, semua proyek infrastruktur dihentikan dalam 1-2 dua tahun. Nanti kalau ada uang, baru kita mulai lagi. Dari penghematan penghentian dan re-alokasi proyek infrastruktur ini akan ada sekitar Rp 300 triliun,” ujar mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Indonesia era Gus Dur tersebut.
Keempat, cicilan utang pokok dan bunga sekitar Rp 646 triliun. Inilah kesempatan untuk renegosiasi dengan para kreditor. Sebab, sekitar seperempat adalah pinjaman bilateral dan multilateral.
“Katanya pemerintah punya hubungan internasional hebat dan banyak dikenal, coba manfaatkan dan buktikan bahwa itu ada hasilnya,” ungkap Rizal Ramli.
Dia menyarankan agar pemerintah meminta kepada negara-negara lain dan lembaga keuangan internasional agar menunda dan menghentikan pembayaran sampai Desember 2020.
“Kemudian nanti Januari 2021 kembali kita bayar. Kita tidak ngemplang. Harusnya bisa dilakukan karena untuk negara-negara besar, itu adalah jumlah yang kecil,” tukas Rizal Ramli.
Kelima, memanfaatkan bond yang tiga perempatnya dikuasai oleh swasta. Saat ini merupakan waktunya untuk menukar bond bunga mahal ke bunga murah dengan tempo atau tenor yang lebih panjang.
“Pemerintah Indonesia memberikan yield paling tinggi di Asia Tenggara yaitu 7,3%. Memang, sebulan lalu RI menerbitkan bond dengan yield lebih murah yaitu 4,5%. Namun di negara manapun, saat ini bond yield negatif baik di Amerika, Jepang atau Eropa,” beber Rizal Ramli.
Tetapi, Rizal mengingatkan agar pemerintah jangan terburu berbangga dulu. Filipina misalnya. Negara ini menerbitkan bond pada saat yang bersamaan dengan RI. Dengan kondisi perekonomian yang lebih jelek, yield-nya hanya 2 %. Sedangkan kalau kita tukar bond kita dengan jangka panjang dan bunga lebih murah, pemerintah dapat menghemat cicilan utang nyaris Rp 400 triliun.
“Total penghematan dengan cara-cara di atas hampir Rp 1000 triliun lebih, dan ini cukup untuk menyelesaikan masalah ekonomi akibat Corona tanpa berhutang lagi,” jelas Rizal Ramli.
Namun, program hanya boleh fokus tiga hal yaitu: Rp 200 triliun untuk menyelesaikan masalah Corona, sekitar Rp 300 triliun untuk memberi makan dan memberikan bantuan melalui ATM setiap bulan sekitar Rp 600.000-Rp 800.000 langsung dari BRI dan BNI.
“Saya tidak mau menggunakan istilah BLT (Bantuan Langsung Tunai) namun Bantuan ATM Tunai (BAT) atau Bantuan ATM Sosial (BAS), tidak berikan tunai namun disalurkan ke ATM setiap orang secara tunai,” tuturnya.
Itu artinya, semua Warga Negara Indonesia (WNI) umur 17 tahun ke atas diwajibkan memiliki ATM. Rizal menyarankan agar pemerintah menunjuk BRI dan BNI. Sebab keduanya memiliki cabang di berbagai daerah. Selain itu juga memiliki satelit dan memiliki kapasitas komputer lima kali dari BCA.
Skemanya, setiap rakyat Indonesia, di atas usia 17 tahun harus punya ATM. Setiap bulan diberikan uang via ATM Rp 600.000-Rp 800.000 untuk jangka waktu 6-8 bulan. Total dana Rp 300 triliun. Namun, lanjut Rizal, harus dilihat balance-ATMnya, apabila kecil kurang dari Rp 500.000, maka diberikan, namun mereka yang memiliki balance tinggi misalnya yang diatas Rp 1.000.000 maka tidak usah diberikan. Sehingga memang betul-betul untuk rakyat kecil dan pekerja harian.
“Mereka akan lebih hemat. Kalau sekarang mereka diberikan paket 10 jenis, mungkin yang mereka perlukan hanya 3 jenis. Mereka akan lebih hemat dan mereka tidak keberatan untuk lock-out, tinggal di rumah, karena ada uang untuk makan,” urainya.
Jika hal ini dilakukan, maka, Bank BRI bisa menjadi bank paling besar di Asia Tenggara walaupun transaksinya di bawah satu juta.
“Dan itu modal yang besar untuk BRI dan BNI nanti menguasai pasar ASEAN. Kesulitan harus kita jadikan kesempatan,” Rizal Ramli melanjutkan.
Sehingga, hal tersebut sekaligus mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan penetrasi perbankan. Justru pada waktu krisis ini kesempatan itu terbuka lebar.
Kesulitan ini memaksa setiap orang memiliki ATM sehingga bank-bank kita bisa menjadi lebih besar. Tidak hanya itu saja. Seluruh kompilasi data bisa digunakan sebagai big data analysis untuk segmentasi nasabah-nasabah.
Dengan demikian, di masa datang jika ada masalah, bisa menargetkan bantuan sosial ke segmen yang betul-betul tepat sasaran.
“Ini adalah BAT istilah saya yaitu Bantuan ATM Tunai (BAT) atau Bantuan ATM Sosial (BAS),” tandas Rizal.
Laporan: Muhammad Hafidh