KedaiPena.Com – Kemelut di Papua tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara represif. Bahkan, penangkapan mahasiswa asal Bumi Cendrawasih yang dituding makar justru akan menambah persoalan baru di kemudian hari.
Pemerintah sebaiknya mengintropeksi diri terhadap hal-hal yang selama ini belum dilakukan dalam memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat yang bermukim di bumi mutiara hitam di timur Indonesia.
Menurut tokoh nasional Rizal Ramli, ada lima langkah yang bisa ditempuh pemerintah guna meredam konflik di Papua dan memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.
Pertama, sebut Rizal Ramli, terkait dengan adanya dorongan Papua dan Papua Barat untuk keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah sejatinya meniru cara Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dengan membuka ruang dialog dengan tokoh-tokoh adat layaknya keluarga yang berbeda pendapat.
Gus Dur selalu menganggap teman-teman Papua yang ingin merdeka ini seperti saudara sendiri. Jadi penyelesaiannya dengan membuka ruang dialog secara terbuka seperti menyelesaikan persoalan keluarga.
“Kalau ada anak-anak kita mau keluar rumah, masa kita gebuk, masa mau kita usir, masa mau kita bilang silakan. Justru kita pakai alat untuk intropeksi dan cari jalan keluar,” ujar mantan Menko Ekuin era pemerintahan Gus Dur itu, Senin (2/9/2019).
“Apakah sebagai orang tua saya sudah benar atau belum, sudah adil belum, saya perhatikan anak-anak saya sama atau ndak?” Rizal menambahkan.
Gus Dur-pun, sambung Rizal Ramli, tak pernah mempermasalahkan ucapan masyarakat Papua yang ingin merdeka dan keluar dari Republik Indonesia, namun selalu menjadikannya sebagai pintu introspeksi serta merangkul masyarakat Papua.
“Itu sebetulnya ungkapan dari rasa ketidakadilan. Itulah kenapa buat Gus Dur enggak ada masalah yang ngomong kayak begitu, bahkan dirangkul. Kalau salah kita benerin,” ujarnya.
Langkah kedua, sambung Rizal Ramli, pejuang demokrasi sejak mahasiswa itu, aparat keamanan harus menindak tegas para pelaku yang mengintimidasi dan mengeluarkan ucapan rasial pada warga Papua di Asrama Surabaya dan Malang.
“Jangan yang di Papua dan mahasiswa yang demo saja yang ditangkap, tapi di Surabaya bagaimana? Yang di Malang bagaimana? Harusnya pelaku rasial itu langsung ditangkap dan diproses hukum dong!” tegas Rizal Ramli yang juga mantan anggota Tim Panel Bidang Ekonomi PBB itu.
Rizal Ramli-pun mengkhawatirkan, bila isu rasial ini dibiarkan berlarut-larut, maka tidak menutup kemungkinan Indonesia akan dianggap sebagai pelanggar hak asasi manusia (HAM) oleh dunia internasional. Pasalnya, dalam International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD) secara tegas telah disepakati adanya penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial.
“Dunia internasional bisa manfaatkan sebagai pintu masuk pelanggaran HAM bila isu rasial ini tidk ditindak tegas dan dibiarkan berlarut,” seru Rizal.
Hal ketiga yang berkaitan dengan adanya kelompok bersenjata, Rizal Ramli mendukung cara-cara yang sudah dilakukan pemerintah dalam menindak tegas para pelaku tersebut.
Namun tokoh mahasiswa yang pernah di pemjara 1,5 tahun di penjara militer dan Sukamiskin karena melawan sikap otoriter Orba itu mengatakan, aparat keamanan tidak boleh melakukan tindakan kekerasan terhadap rakyat sipil yang tidak bersenjata di manapun di seluruh Indonesia, termasuk di Papua.
“Aparat keamanan harus melakukan pemetaan secara matang antara-kelompok bersenjata dengan warga sipil. Jangan karena panik, memberondong senjata dengan serampangan, karena khawatir warga sipil yang justru menjadi korban,” lanjut Rizal Ramli.
“Tambahan pula, tindakan represif terhadap rakyat sipil tersebut justru akan semakin memperkuat dukungan terhadap kelompok bersenjata seperti terjadi di Timor Timur dan Aceh,” Rizal melanjutkan.
Keempat dalam konteks keadilan ekonomi, Rizal Ramli menuturkan, harus ada keadilan ekonomi dan sosial bagi masyarakat Papua. Dana Otsus harus bisa dimanfaatkan oleh rakyat secara nyata dan tak perlu melalui birokrasi yang korup. Misalnya, sebut Rizal Ramli, memberikan dana kesejahteraan melalui kartu anjungan tunai mandiri (ATM). Hal itu, kata Rizal Ramli telah diterapkan di Alaska.
“Semua rakyat Papua diberikan kartu ATM BRI, dan setiap orang diberikan dana kesejahteraan senilai Rp 1 juta per orang per bulan. Tetapi, alokasi dana harus diprioritaskan untuk mama-mama untuk dikelola, karena pasti bermanfaat untuk makanan, kesehatan dan pendikan”imbuh Tokoh Gerakan Anti Kebodohan yang memperjuangkan wajib belajar 6 tahun pada tahun 1977 itu.
Seiring dengan adanya pemberian dana kesejahteraan untuk masyarakat Papua, Rizal Ramli menambahkan, pemerintah juga harus membatasi peredaran minuman keras dengan tegas agar dana yang disalurkan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
“Pemerintah harus membatasi peredaran miras secara masif dan tegas. Karena selama ini perdagangan miras selalu dibekingi aparat,” cetus Rizal Ramli.
Kemudian yang kelima, lanjut Rizal Ramli, pemerintah harus memberikan kesempatan bagi putra-putri Papua untuk menjadi pemimpin birokrasi nasional, lokal, TNI dan Polri.
“Berikan kesempatan bagi putra dan putri Papua untuk mengembangkan kemampuannya, sehingga mereka bisa menjadi pemimpin nasional. Karena saya lihat sekarang ini jarang sekali putra-putri Papua menjadi pemimpin di level nasional, TNI, dan Polri. Kalau di TNI yang saya tahu sekarang ini Mayor Jenderal TNI Joppye Onesimus Wayangkau. Sebelumnya ada Mayjen TNI Herman Asaribab dan Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi yang kemudian berkesempatan menjadi Menteri,” jelas RR,sapaan Rizal Ramli.
“Kita dorong semua bersaudara, itulah kekuatan yang membuat Indonesia tangguh dan hebat,” tandas DR. Rizal Ramli.
Laporan: Muhammad Hafidh