KedaiPena.Com – Virus corona hanyalah faktor yang hadir belakangan, namun memperkuat sinyal perlambatan ekonomi.
Sebelum virus ini muncul, ekonomi Indonesia sudah bermasalah karena pengaruh ‘bubble economy‘.
Demikian disampaikan ekonom senior Rizal Ramli Rizal Ramli di Surabaya, Minggu (8/3/2020).
Gelembung ini membuat ekonomi Indonesia terlihat baik dari luar, namun berantakan di dalam. Gelembung ini siap meletus kapan saja dan membuat krisis ekonomi Indonesia.
“Ada gelembung makro ekonomi, gagal bayar, anjloknya daya beli, kehadiran bisnis digital dan penurunan pendapatan petani,” tegas Rizal.
“Pertama soal makro ekonomi, semua indikator makro merosot lebih jelek dibandingkan 10-15 tahun lalu. Defisit neraca perdagangan, transaksi berjalan, taxation dan sebagainya,” sambungnya.
Secara logika, lanjut mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini, ‘bubble economy‘ yang pertama adalah sektor makro. Semua indikator makro merosot, harusnya mata uang rupiah melemah.
Namun hal tersebut tidak terjadi karena di-dopping utang pemerintah dari luar negeri yang tentunya dengan bunga lebih mahal.
“Buat menopang rupiah untuk agak menguat sedikit. Tapi yang namanya dopping, bisa jadi dia dopping pertama menang tapi dopping ketiga biasanya jantungnya nggak kuat. Kelojotan habis itu. Sehingga tidak bisa didopping terus menerus. Ekonomi juga seperti itu,” terang Rizal.
Kedua, gelembung daya beli yang merosot tajam. Penjualan turut anjlok sebab tahun lalu pertumbuhan kredit hanya di angka 6,02 persen. Jika kondisi ekonomi normal, maka angka ekonomi tumbuh 6,5 persen dan pertumbuhan kredit bisa mencapai 15-18 persen.
Angka 6,02 persen tersebut hanya sepertiga dari target seharusnya. Sehingga mempengaruhi daya jual dan daya beli masyarakat bawah.
“Ini hanya 6,02 persen atau sepertiganya. Tidak aneh di bawah uang susah sekali dan penjualan anjlok banget karena uang yang beredar sedikit karena kesedot untuk bayar utang,” tandasnya.
Lebih lanjut Rizal menguraikan setiap menteri keuangan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN), sepertiga dari dana di bank tersedot untuk membeli SUN. Karena SUN mampu menjamin defisit anggaran dan menggairahkan iklim investasi kendati bunganya dua persen lebih mahal dari deposito.
“Itulah yang terjadi hingga di bawah itu seret sekali. Tahun ini pertumbuhan kredit hitungan saya paling hanya 4 persen akan lebih merosot lagi,” urainya.
Ketiga, gagal bayar kasus Jiwasraya. Itu pun hanya sebagian. Total gagal bayar menembus Rp 33 triliun. Namun Rizal Ramli memperkirakan akan ada gagal bayar reksadana, dana pensiun, dan lainnya dengan nilai total Rp 150 triliun atau US$ 100 miliar.
“Jadi ekonomi itu ibarat petinju udah goyang karena kebanyakan utang digap dengan gagal bayar ya krisis,” ungkapnya.
Keempat, adalah gelembung digital yang mengalami koreksi evaluasi. Gelembung digital dinilai sudah terlalu besar dan kemungkinan akan mengalami koreksi sekitar 40-50 persen.
Terakhir, gelembung pendapatan petani. Mundurnya waktu tanam petani karena pengaruh musim kering pada September 2019 lalu, membuat mereka baru bisa memulai masa tanam pada Januari ini. Otomatis musim panen baru akan terjadi pada Mei atau Juni mendatang.
Namun saat musim panen, Rizal Ramli memprediksi Bulog bakal menolak beras dari petani. Pertama, karena krisis keuangan mengingat kerugian Bulog mencapai Rp 30 triliun. Kedua, Bulog masih menyimpan stok impor 1,7 juta ton.
Laporan: Muhammad Lutfi