KedaiPena.Com – Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli menyampaikan kilas balik awal mula munculnya kasus BLBI. Ceritanya bermula saat krisis melanda Indonesia tahun 1997 sampai 1998. Di mana ketika itu Asia juga sedang krisis.
Pemerintah Indonesia mengundang Dana Moneter Internasional (IMF), dan lembaga itu memaksa Indonesia untuk melakukan langkah-langkah yang justru membuat ekonomi Indonesia anjlok, dari rata-rata 6 persen ke minus 13 persen.
“IMF memaksa pemerintah Indonesia untuk menaikkan tingkat bunga dari 18 persen rata-rata menjadi 80 persen sehingga banyak perusahaan yang sehat, yang normal, mau nggak mau bangkrut, karena tingkat bunga yang sangat tinggi,” sebut Rizal dalam wawancara eksklusif salah satu televisi nasional, Jumat (28/4).
Lewat IMF pemerintah memaksakan menutup 16 bank kecil dan sedang, tetapi akibatnya rakyat Indonesia tidak percaya dengan bank nasional. Banyak yang mengalami ketidakpercayaan yang akhirnya hampir seluruh bank-bank besar termasuk BCA dan Danamon bangkrut dan kolaps, sehingga terpaksa pemerintah menyelamatkan bank-bank itu dengan memberikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Selanjutnya, kata Rizal, IMF juga memaksa pemerintah untuk menaikkan harga BBM pada tanggal 1 Mei 1998 sebesar 74 persen yang memicu demonstrasi besar-besaran, yang membuat ratusan orang meninggal dan ribuan orang luka-luka. Sehingga rupiah anjlok dari 2.200 ke 15.000 per dolar.
“Saran-saran IMF yang disetujui ini oleh para menteri waktu itu, menteri bidang ekonomi komprador, mengakibatkan ekonomi Indonesia anjlok. Sehingga pemerintah harus menyelamatkan hampir 80 miliar dolar untuk membantu bank-bank ini, hampir sekitar 1000 triliun belum dihitung sekarang dengan bunga berbunganya,” ungkapnya.
Rizal menjelaskan, semula pinjaman BLBI dalam bentuk tunai dan support pemerintah, seharusnya hutang piutang dengan pemilik bank itu tetap tunai, tapi entah bagaimana dilobi, akhirnya diganti dengan penyerahan aset.
Ketika menyerahkan aset-aset itu, beberapa pengusaha pemilik bank bagus, menyerahkan aset yang bagus dan nilainya sepadan dengan BLBI yang diberikan. Tapi ada juga yang nakal dan bandel memasukkan saham-saham dan perusahaan yang nilainya sebetulnya jauh lebih rendah.
Menurutnya, dengan indikasi tersebut maka dalam prakteknya terjadi penyelewengan, apalagi Indonesia dipaksa oleh IMF untuk segera menjual aset yang diserahkan kepada BPPB tersebut.
“Pada waktu kami masuk jadi Menko, setelah krisis, strategi kami adalah tidak menjual aset-aset itu, kecuali sangat diperlukan untuk menambal APBN, tapi restructure asset tersebut untuk lima sampai tujuh tahun,” jelas dia.
“Dengan perkiraan kalau dijual juga dengan saran IMF harganya akan jatuh, Republik Indonesia akan sangat dirugikan. Tapi kalau ikut policy kami, restructure lima sampai tujuh tahun baru dijual, pada tahun 2005 2007, dimana indeks sudah naik dari tadinya 700-an ke atas 1500, justru pemerintah Indonesia akan bisa mendapat lebih banyak, recovery ratenya lebih tinggi,” ia menegaskan.
“Tapi kebanyakan menteri ekonomi Indonesia manut dengan IMF yang konyol itu, sehingga akhirnya dipaksa menjual dengan harga sangat murah, dan merugikan, termasuk kasus penjualan BCA, yang oleh Pak Kwik Kian Gie (Menko Prekonomian sebelum Rizal) juga sudah jelaskan berkali-kali yang sangat merugikan Negara,” papar Rizal.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Temenggung sebagai tersangka baru dalam kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
KPK menemukan adanya indikasi korupsi dalam pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004, Sjamsul Nursalim. SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh sejumlah obligator BLBI kepada BPPN.
KPK menduga Syafrudin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 3,7 triliun. Rizal sendiri dijadwalkan akan memberikan kesaksian kasus ini pekan depan.
Laporan: Muhammad Hafidh