KedaiPena.com – Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (ASPRINDO) Rizal Ramli menyatakan ada hal nyata yang membedakan antara masa kepemimpinan Soeharto dengan Joko Widodo.
“Soeharto itu memang otoriter, saya saja sempat di penjara di Sukamiskin. Tapi, saya harus angkat topi, karena beliau mencoba memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Seperti SD Inpres, Puskesmas, harga pangan terjangkau dan stabil. Bahkan kita bisa ekspor beras. Semuanya itu, dari ekspor migas,” kata Rizal Ramli dalam acara Munas ASPRINDO di Millenium Sirih Jakarta, Jumat (29/9/2023).
Soeharto, lanjutnya, juga membesarkan konglomerat tapi sayangnya ia percaya dengan sistem mekanisme pasar, sehingga Soeharto tidak meminta para konglomerat itu untuk menggiatkan ekspor.
“Hasilnya, kalau kita keliling dunia, produk yang paling banyak ditemui di banyak negara, hanya indomie dan tolak angin. Tidak ada itu produk manufaktur. Konglomerat itu hanya mengambil keuntungan dari market domestik, tidak maju ke kancah internasional,” ujarnya.
Berbeda dengan kasus Park Jung Hi, yang juga dikenal sebagai pemimpin otoriter dari Korea. Ia membesarkan konglomerat tapi ia mewajibkan konglomerat harus menggiatkan ekspor dan wajib melaporkannya setiap enam bulan. Sehingga, seperti yang bisa dilihat sekarang, produk Korea membanjiri market global.
“Dan yang perlu diingat, bahwa para konglomerat di era Soeharto, sangat takut kepada Soeharto. Sedikit saja mereka mencampuri ekonomi rakyat, habis mereka oleh Pak Harto,” ujarnya lagi.
Rizal menyebutkan pada faktor ini lah, perbedaan Soeharto dengan Joko Widodo.
“Jokowi selama 9 tahun ini, takut pada oligarki, takut pada konglomerat. Karena itu, kebijakannya pro oligarki, pro investor. Padahal dalam konstitusi kita, tak ada kewajiban presiden untuk membesarkan dan menyejahterakan konglomerat atau oligarki atau investor. Tugas presiden itu mencerdaskan dan meningkatkan kemakmuran rakyatnya,” kata Rizal dengan tegas.
Ia mengucapkan tak perlu presiden mengundang investor datang ke Indonesia, seperti yang biasa dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.
“Naikkan saja pertumbuhan ekonomi Indonesia, minimal 7 persen, pasti para investor akan datang dengan sendirinya. Kalau sekarang, mereka lebih memilih Thailand dan Vietnam, ya wajar saja, pertumbuhan ekonomi mereka itu 8 persen,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa