Artikel ini ditulis oleh Woworuntu Manalo, Pemerhati Sosial.
Dia setia pada cita-cita masa muda. Dari politik hingga ekonomi, dia bicara tentang kita. Tentang bangsa agar tak dikurung oligarki. Ekonomi yang adil. Dan, demokrasi yang tak bertuan pada uang.
Memang tidak banyak. Tokoh nasional kita. Yang setia. Pada cita-cita masa muda mereka. Tentang kita. Tentang bangsa ini. Dan tentang masa depan. Banyak yang masa mudanya berpekik tentang kita. Begitu dipucuk, dia bukanlah tempat kita berteduh. Bahkan dihujat. Kita hujani serapah. Mengiring muka malu mereka ke jeruji besi. Oleh sebab korupsi.
Dari sekian yang setia, banyak yang diam. Semedi dari kekeruhan politik. Elan melemah, tak kuat lagi berdiri demi kita. Mereka menepi dari kesulitan bangsa, dari ruang diskusi mahasiswa, dari kepedihan orang-orang pinggiran, atau menggerutu suka ria.
Tentulah banyak yang berdiri lantang. Dan, kepada mereka kita patut membungkuk. Menaruh harapan. Kita bisa menulis tentang mereka, sebagai suluh bagi generasi baru. Agar merawat kesetiaan pada kepentingan umum. Dan, untuk kali ini mari melihat Rizal Ramli. Dari sisi kepentingan kita. Generasi baru. Generasi tanpa korupsi. Tanpa nepotisme. Yang melihat proses sebagai tangga untuk menapak, dan tak mau menjadi batu dalam ketapel, yang melangit oleh karena ditolong begitu banyak jemari.
Rizal datang dari kebanyakan kita. Mungkin malah lebih susah. Lebih berliku. Masa belia serba kurang. Sebab ayah ibu wafat ketika usianya delapan tahun. Diasuh nenek, dia rajin mengasah otak. Masuk ITB. Dipenjara Orde Baru oleh karena memimpin unjuk rasa. Protes cara mengelola negara, oleh karena rakyat dilupakan.
Dia meraih gelar doktor ekonomi di Boston. Pulang mendirikan lembaga riset. Jadi menteri di tempat “basah,” tapi matanya tak pernah silau. Dan, hingga hari ini, kita tetap melihat Rizal Ramli yang datang nun dari kejauhan masa muda. Kritis, dan nyaris tak pernah jauh dari orang-orang yang dipinggirkan. Sungguhlah banyak cerita tentang dia. Tentang kesetiaan. Terobosan. Dan, kita tulis dua atau tiga kisah saja.
Mari mundur ke delapan tahun silam. Tanggal 17 Agustus 2016. Pada hari merdeka itu, Rizal datang ke Bukit Duri. Sebuah kampung yang terjepit gemuruh ekonomi ibukota. Rawan banjir. Bersama warga, yang disebut sejumlah media sebagai korban normalisasi Sungai Ciliwung ini, hari itu Rizal berdiri tegak. Menghormat bendera. Menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Atas bimbingan rohaniawan Sandyawan Sumardi dan Bang Rizal, warga mengusulkan penataan hunian di pinggir sungai itu. Bangun kampung susun. Di daerah Cakung, Jatinegara. Rizal meminta bantuan sejumlah kawan. Ketika hadir meresmikan kampung susun itu, 25 Agustus 2022, Anies Baswedan yang saat itu menjadi Gubernur DKI Jakarta, mengundang Rizal. Di hadapan ribuan orang Anies bilang begini, “Di sini ada Bang Rizal. Terima kasih sudah memperjuangkan keadilan secara konsisten di tanah ini.” Semua hadirin sontak bertepuk tangan.
Konsistensi, barangkali itulah kekuatan Rizal yang jarang dimiliki oleh sekian tokoh nasional kita. Dan kesetiaan itu tidak hanya datang dari kata-katanya, yang sering kita dengar dari banyak tokoh pada ruang diskusi, panggung kampanye, tapi juga datang dari perbuatannya. Demi orang-orang susah, dia terlihat begitu gampang hadir di banyak keluhan.
Kamis, 27 Juli 2023, Rizal berdiri di ruang sidang. Di Mahkamah Konstitusi. Dia hadir menjadi saksi ahli bagi kaum buruh, yang bayangan masa depannya kelam oleh karena Omnibus Law. Rizal menguraikan kelemahan alasan pemerintah menerbitkan beleid itu. Di hadapan para hakim. Di hadapan wakil pemerintah.
Doktor ekonomi dari Boston Amerika Serikat ini, kepada kita menjelaskan bahwa alasan kegentingan oleh karena lindu ekonomi dunia dan bencana Covid, dibantah oleh angka dan data yang dilansir oleh pemerintah sendiri. Sebab, kata Rizal, antara tahun 2020-2023 ekonomi tumbuh sekitar 5 persen. Dan, bilangan pertumbuhan sebesar itu, jelas Rizal, tentulah bukan pantulan kegentingan sebuah keadaan.
Pada ruang sidang itu, Rizal kelihatan menggerahkan segenap pengetahuan dan kekuataan hatinya berdiri demi para pekerja. Jika definisi “pekerja” di situ termasuk para pegawai kantoran, yang menurut data BPS Februari 2023, jumlahnya sekitar 138 juta, maka Rizal sesungguhnya bicara tentang lebih dari separuh penduduk negeri ini. Bicara tentang kita. Termasuk generasi baru, yang berduyun mengirim lamaran ke kantor-kantor.
Di mahkamah konstitusi itu, menutup kesaksiannya suara Rizal terdengar merendah. Pelan, dan terdengar datang jauh dari kedalaman hatinya. Suasana hening. Mantan Menko Perekonomian masa Presiden Abdurrahman Wahid itu, memohon kepada para hakim agar membatalkan Omnibus Law, demi, “Jutaan buruh yang seumur hidup nyaris tidak punya pegangan.”
Jika kita ingin melihat jejak seorang Rizal Ramli, carilah pada kehidupan orang-orang kecil. Dari masa mudanya. Ketika kuliah. Dari lembaga riset Econit yang dibesut bersama sejumlah kawan. Juga dari kebijakan ketika dia dipercaya oleh guru dan sekaligus sahabatnya, Gus Dur, menduduki kursi menteri.
Atas restu Gus Dur, Rizal misalnya, pernah menghapus kredit usaha tani yang macet. Oleh karena hasil lahan tak lagi sanggup melunasi.
Bersama dengan Serikat-serikat Pekerja, jejaknya ada di perjuangan tentang BPJS, ada di desa, dia terlibat aktif dengan Assosiasi Kepala-kepala Desa Parade Nusantara untuk memperjuangkan Undang-undang Tentang Desa. Dan selebihnya kita bisa mencari jejak-jejak serupa dari perekam. Halaman media massa kita. Tidak susah. Gerakan saja jemari kita ke jagat mesin pencari.
Dan, bila Rizal seringkali berdiri bersama orang-orang susah, itu bukan semata-mata demi masa lalunya yang tak kalah sulit, atau hanya dari sekian teori ekonomi yang dipelajari nun jauh ke negeri Barack Obama, tapi itu juga datang dari keyakinan. Yang berhulu dari hatinya. Bahwa keadilan adalah soal kehendak. Soal tata kelola. Soal sistem. Oleh karena itu, keadilan yang diluhurkan para pendiri bangsa kita, haruslah datang dalam wajah sistem.
Dan persis sistem itulah yang jadi hulu semua pikiran Rizal. Juga kritikannya. Disampaikan berulang kali. Pada sekian kesempatan. Layar televisi. Ruang diskusi. Podcast. Hingga cericit di lini massa. Pada sebuah wawancara yang ditayangkan di Ruang Dialek — yang dipandu seorang anak muda beberapa waktu lalu — Rizal bicara tentang sistem yang justru mengurung kita. Mengurung ekonomi. Mengurung politik. Yang jika dibiarkan, mengurung masa depan anak cucu kita.
Cara kita mengelola demokrasi, kata Rizal, ikut membentuk kultur politik. Orang-orang bagus enggan masuk. Mereka cenderung melihat politik itu berbelur kotoran dan dosa. Padahal demokrasi memerlukan penopang. Perlu perangkat. Dan salah satu yang terpenting adalah partai politik. Dia adalah tangga. Jalan para kader menuju pucuk.
Repotnya, akses vertikal itu seperti terkunci. Digembok oleh ambang batas 20 persen. Batas minimal untuk dicalonkan menjadi pemimpin. Menjadi calon bupati. Calon walikota. Atau calon gubernur. Calon presiden. Oleh sebab batasan itu, para calon berkemungkinan terdorong untuk menyewa partai. Demokrasi jadi transaksional semenjak dari hulu. Jika itu terjadi, maka kita, berduyun ke bilik Pemilu memilih hasil dari transaksi itu. Kemuliaan demokrasi jatuh menjadi sejenis pasar.
Jika sang calon tak punya uang, dia berkemungkinan bersekutu dengan pebisnis, yang oleh sejumlah orang disebut sebagai bandar politik. Inilah pintu masuk para pemodal berlaga pada perhelatan demokrasi, juga tepat di hulunya. Demokrasi, yang kita muliakan sebagai fox populi fox dei, menjelma menjadi hitungan investasi bagi para pemilik uang. Dari situ mereka memetik imbal balik, dari proyek, konsesi tambang, dari kebijakan, yang ujungnya menentukan nasib semua kita.
Situasi inilah yang menyeret bangsa kita ke dalam himpunan kisah kelabu. Sekian banyak pejabat kita masuk bui. Dari bupati, walikota, gubernur, anggota DPR, hingga para menteri, yang mengakhiri karir politik mereka dengan gelar mantan narapidana korupsi. Jika ratusan pejabat kita masuk bui, kata Rizal, itu bukan semata-mata oleh karena laku oknum, tapi juga karena sumbangsih sistem yang berlumur siasat itu. Lalu apa solusinya?
Kita mundur ke sepuluh tahun silam. Jauh sebelum kepusingan kita, akan begitu banyaknya kader partai politik terseret kasus korupsi. Jumat, 7 Juni 2013. Sesudah menghadiri acara “10 tahun Institute Maarif” di Jakarta, dalam wawancara para wartawan. Rizal usul agar Partai Politik didanai negara. Agar pemodal tak dominan. Dan juga agar para kader yang berlaga tidak terjebak.
Sesudah itu, usulan ini, terus disampaikan Rizal pada berbagai kesempatan. Dan Jumat, 7 Juli 2023, dalam sebuah diskusi bertopik, “Oligarki dalam Parpol dan bahayanya bagi demokrasi,” yang digelar di Jakarta, Rizal kembali menyuarakan soal ini. Paling, kata Rizal, uang yang dibutuhkan sekitar Rp.30 triliun setahun. Jumlah segitu terhitung kecil dari 2000-an triliun APBN kita.
Akses vertikal yang sama itu, juga diperjuangkan Rizal dalam banyak bidang. Seperti ekonomi. Juga bagi kita. Para generasi baru. Agar orang-orang seperti kita, tidak menjadi penunggu. Menunggu tetesan ke bawah, yang dijanjikan pertumbuhan. Agar tidak terus-terusan begitu. Saban bulan. Saban tahun. Saban generasi.
Seperti halnya politik, Rizal melihat keruwetan dalam ekonomi kita, datang dari sistem. Dia menyebut sistem kita sebagai sosialisme terbalik. Kue bagian atas besar. Dinikmati segelintir pengusaha raksasa. Kue ekonomi bagian bawah kecil. Jadi rebutan begitu banyak pebisnis menengah dan kecil.
Stuktur yang buram ini, kata Rizal, juga merupakan pantulan dari situasi politik kita. Perselingkuhan antara pengusaha dan politik, memungkinkan terjadinya bisnis kebijakan. Sementara pebisnis kecil sulit berpinak. Susah akses ke sumber pembiayaan. Yang berpotensi, mudah ditelan oleh para raksasa.
Dalam peta ekonomi seperti itu, jalan bagi mayoritas rakyat begitu sempit. Jalan sempit itu adalah menjadi pekerja. Bisa turun temurun. Selama sistem ekonomi seperti ini, kata Rizal, “Jangan bermimpi tentang keadilan dan kedaulatan ekonomi.”
Rizal menawarkan solusi. Bagi pebisnis yang menumpuk di lapis bawah itu. Coaching clinic bisnis. Kemudahan akses pembiayaan. Pajak yang ringan. Dengan cara itu, jalan vertikal bagi mereka dibuka. Beban dipangkas. Anak-anak muda terdorong merintis dunia dagang dan industri.
Jika kita menyelami cara berpikir Rizal Ramli, tentang politik, juga ekonomi, dia sesungguhnya berpikir tentang kita. Tentang masa depan generasi kita. Ekonomi yang sehat dan adil, kata Rizal, adalah cara terbaik merawat demokrasi. Dan demokrasi itu tentang persamaan hak. Akses yang sama. Tanpa itu, kita hanya menjadi pewaris nasib. Di lapis bawah. Yang kelabu.
[***]