Artikel ini ditulis oleh Fithra Faisal Hastiadi, Dosen FEB UI, Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia, Wakil Ketua Komite Tetap Strategi Transformasi Teknologi dan Digital KADIN.
Kemenangan Donald Trump dalam pemilu Presiden Amerika Serikat 2024 sekali lagi mengguncang dunia. Sejarah mencatat bahwa kehadiran Trump di panggung politik global selalu diiringi ketidakpastian. Tidak ada presiden dalam beberapa dekade terakhir yang memberikan dampak sebesar Trump, baik dari sisi ekonomi, geopolitik, maupun stabilitas pasar global.
Menurut pandangan saya, kemenangan ini bukan sekadar peristiwa yang memicu perdebatan, tetapi juga memaksa kita untuk mempertimbangkan ulang pola ekonomi global di masa depan. Trump bukan hanya sekadar pemimpin; ia adalah simbol perubahan mendasar dalam kebijakan ekonomi Amerika Serikat—bergeser dari pendekatan multilateral ke bilateral, dari keterbukaan menuju proteksionisme, dan dari konsensus ke negosiasi keras. Pesannya jelas: dunia harus siap beradaptasi.
Sebagaimana yang pernah saya sampaikan pada 2016, kemenangan Trump saat itu mencerminkan ketidakpuasan mendalam terhadap globalisasi yang timpang. Kini, kemenangannya yang kedua membawa dimensi baru—dunia yang lebih terfragmentasi, rivalitas perdagangan yang meningkat, dan ancaman inflasi global yang terus membayangi. Bagi Indonesia, tantangannya sederhana namun krusial: bagaimana merespons dinamika ini tanpa kehilangan arah?
Kemenangan Trump kali ini berdampak lebih luas daripada sekadar tekanan jangka pendek pada nilai tukar rupiah atau kebijakan suku bunga The Fed. Lebih dari itu, ini adalah peluang untuk membaca risiko sekaligus mengidentifikasi strategi yang relevan. Dari tekanan di sektor keuangan hingga potensi penguatan kolaborasi bilateral, Indonesia harus mampu bertahan sekaligus menciptakan strategi baru untuk menghadapi era Trump kedua ini.
Tulisan ini bertujuan untuk memetakan dinamika tersebut, menjabarkan tantangan sekaligus peluang yang muncul. Karena bagi saya, kemenangan Trump tidak hanya berpusat di Washington, tetapi juga memberikan ujian bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya untuk menavigasi perubahan arus global. Di balik setiap tantangan, selalu ada peluang yang dapat dimanfaatkan.
Kemenangan Donald Trump membawa dampak langsung terhadap sektor keuangan dan moneter Indonesia. Salah satu konsekuensi nyata adalah respons pasar terhadap kebijakan Federal Reserve (The Fed). Pasar mengaitkan Trump dengan kebijakan fiskal ekspansif, termasuk pemangkasan pajak besar-besaran dan belanja infrastruktur yang masif. Hal ini memicu ekspektasi inflasi yang tinggi, yang kemungkinan akan mendorong The Fed untuk mengambil langkah konservatif dalam menetapkan suku bunga.
Bagi Indonesia, kondisi ini menghadirkan tekanan pada nilai tukar rupiah. Dengan indeks dolar yang menguat, arus modal keluar dari pasar negara berkembang menjadi tantangan signifikan. Tekanan ini mempersempit ruang gerak kebijakan moneter Bank Indonesia (BI), meskipun saya optimis bahwa nilai tukar masih dapat bertahan di bawah Rp16.000 per dolar AS hingga akhir tahun.
Pasar obligasi juga diperkirakan mengalami tekanan. Yield obligasi pemerintah AS yang lebih tinggi membuat obligasi Indonesia kurang menarik di mata investor global. Selisih imbal hasil (yield spread) yang mengecil antara obligasi AS dan Indonesia dapat mengalihkan minat investor ke aset berisiko tinggi, seperti saham di pasar Amerika Serikat. Hal ini didukung oleh sentimen optimisme terhadap perekonomian AS yang diperkirakan akan menguat seiring dengan kebijakan “Make America Great Again.”
Namun demikian, saya percaya bahwa kemenangan Trump juga membawa peluang strategis bagi Indonesia dalam jangka menengah dan panjang. Kebijakan fiskal ekspansif dan slogan “Make America Great Again” memiliki implikasi positif bagi negara-negara berkembang. Ketika ekonomi AS tumbuh, ekspor mereka meningkat, dan dolar AS berpotensi melemah untuk mendorong daya saing produk AS di pasar global.
Pelemahan dolar ini, jika terjadi, akan mengurangi tekanan terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. Dengan demikian, BI memiliki lebih banyak ruang untuk mengelola kebijakan moneter tanpa khawatir terhadap risiko depresiasi. Selain itu, pendekatan bilateral yang diusung Trump memberikan peluang bagi Indonesia untuk memperkuat hubungan perdagangan langsung dengan AS. Kesepakatan dagang yang dirancang secara bilateral dapat disesuaikan dengan kebutuhan ekonomi domestik.
Kebijakan perang dagang yang menjadi ciri khas Trump diperkirakan akan kembali mencuat, khususnya terhadap China. Meski perang tarif ini meningkatkan ketegangan global, Indonesia memiliki peluang untuk mendiversifikasi pasar dan memperkuat kerja sama perdagangan dengan negara-negara non-AS.
Diversifikasi juga penting dalam konteks rantai pasok global. Perang dagang dapat memicu pengalihan produksi dari China ke negara-negara Asia lainnya. Indonesia memiliki peluang untuk menarik investasi asing langsung (FDI) yang sebelumnya terkonsentrasi di China. Namun, untuk memanfaatkan peluang ini, Indonesia perlu mempercepat reformasi struktural, seperti penyederhanaan regulasi dan peningkatan infrastruktur, agar dapat bersaing dengan negara-negara lain seperti Vietnam atau Thailand.
Pengalaman dari periode pertama Trump menunjukkan bahwa meskipun kebijakannya sering tidak konvensional, pasar pada akhirnya beradaptasi. Kebijakan proteksionis dan pendekatan “America First” sempat memicu gejolak pasar, tetapi negara-negara berkembang akhirnya menemukan cara untuk tetap relevan.
Hal serupa berlaku untuk Indonesia di era Trump kedua. Adaptasi adalah kunci utama. Selain responsif terhadap perubahan kebijakan AS, Indonesia juga harus proaktif membangun aliansi baru, baik di Asia, Eropa, maupun kawasan lainnya.
Kemenangan Trump adalah tanda dinamika baru yang perlu diantisipasi oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Risiko terhadap sektor keuangan dalam jangka pendek tidak bisa diabaikan, tetapi dalam jangka menengah dan panjang, terbuka peluang untuk memperkuat posisi Indonesia di kancah global.
Melalui strategi yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan kebijakan bilateral Trump untuk mempererat hubungan dagang, memanfaatkan pelemahan dolar untuk mengurangi tekanan pada rupiah, serta menarik investasi asing dalam rantai pasok global. Dunia yang terus berubah menuntut fleksibilitas dan ketangkasan, terutama di era Trump kedua.
Sebagaimana sering saya sampaikan, di balik setiap tantangan terdapat peluang. Kuncinya adalah kemampuan membaca peluang tersebut dengan cermat dan meresponsnya dengan langkah yang strategis.
[***]