Artikel ini ditulis oleh akademisi Universitas Bung Karno (UBK), Gede Sandra.
Memang harus ada yang bertanggung jawab atas terjadinya cost over-run dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Tapi yang lebih penting lagi, harus ada yang bertanggung jawab atas pemilihan Cina sebagai kontraktor proyek ini.
Dan saya rasa orang yang paling bertanggung jawab secara bisnis saat itu adalah mantan Menteri BUMN Rini Sumarno.
Pada saat diputuskan memilih kontraktor Cina, dibandingkan kontraktor Jepang, Rini Sumarno adalah pejabat yang paling agresif melakukan lobi-lobi, bahkan dilakukannya sampai ke Negeri Cina.
Pada suatu kesempatan di bulan September 2015, Rini Sumarno diberitakan membawa
sejumlah pimpinan direksi BUMN menyambangi Beijing untuk langsung menjajal kereta api super cepat buatan Cina.
Dahulu (sebelum kemudian membengkak) China menawarkan nilai proyek sebesar US$ 5,5 miliar, sekitar US$ 4,4 miliar (82 persen nilai proyek) dibiayai oleh bank Cina dengan jangka waktu 50
tahun dan tingkat bunga 2 persen per tahun. Sisa modalnya disetor oleh Konsorsium.
Sementara Jepang menawarkan nilai proyek sebesar US$ 6,2 miliar, 75 persen nya (US$ 4,65 miliar) dibiayai oleh bank Jepang dengan jangka waktu 40 tahun dan bunga 0,1 persen pertahun. Sisa modalnya ditanggung oleh konsorsium.
Bila dihitung, bunga pinjaman Cina sebesar 2 persen untuk 50 tahun dengan pokok US$ 4,4 akan menghasilkan total pinjaman (dengan bunga majemuk) yang harus dibayar sebesar US 11,8 miliar.
Bila ditambah dengan kewajiban setoran modal konsorsium akan menjadi US$ 12,8 miliar. Ingat, nilai ini sebelum terjadi cost over-run pada proyek.
Bandingkan dengan Jepang. Bunga pinjaman sebesar 0,1 persen untuk 40 tahun dengan pokok US$ 4,65 miliar akan menghasilkan total pinjaman (dengan bunga majemuk) yang harus dibayar sebesar
US$ 4,84 miliar.
Bila ditambah dengan kewajiban setoran modal konsorsium akan menjadi US$ 6,4
miliar.
Artinya, sebelum proyek dimulai saja, telah terjadi selisih perhitungan bunga berbunga yang merugikan Indonesia dengan memilih kontraktor Cina dibandingkan Jepang.
Dengan memilih Cina daripada Jepang, Republik Indonesia dipaksa untuk berutang dua kali lipat lebih mahal.
Selisih bunga kemahalan yang harus dibayar oleh Indonesia akibat memilih Cina adalah sebesar US$ 6,4 miliar (sekitar Rp 89,6 triliun). Dan kerugian ini harus ada yang bertanggung jawab secara bisnis, yaitu Menteri BUMN pada era itu: Rini Sumarno.
Kereta Cepat | Foto: Istimewa[/caption]
Sekarang terjadi cost over-run pada proyek yang dikerjakan kontraktor Cina ini. Nilai proyek dikatakan membengkak dari US$ 5,5 miliar menjadi US$ 7,97 miliar.
Tidak jelas siapa yang menanggung cost over-run sebesar US$ 2,47 miliar (Rp 34,5 triliun, kurs Rp 14.000/$) ini. Apakah ditanggung seluruhnya oleh Cina Development Bank dalam bentuk pinjaman atau oleh konsorsium BUMN?
Bila ditanggung seluruhnya oleh Cina Development Bank, maka dengan skema yang sama (bunga majemuk 2% dan tenor 50 tahun) maka total pinjaman yang harus dilunasi akan sangat melonjak hingga ke US$ 18,8 miliar.
Tetap Rini Sumarno yang harus bertanggung jawab karena skema
pinjaman dengan bunga yang kemahalan ini adalah peninggalan dirinya.
Bila ditanggung oleh konsorsium BUMN, artinya pemerintah harus siap melakukan Penyertaan Modal Negara (PMN). Dan benar saja, seperti diketahui pada Juli 2021, Menteri BUMN Erick
Thohir sudah mengajukan PMN Rp 8,46 triliun melalui BUMN PT KAI untuk proyek kereta cepat Jakarta Bandung.
Meskipun bila PMN (yang bersumber dari APBN) dikucurkan tentu akan menyalahi komitmen awal seperti yang tertuang dalam Pasal 4 Ayat (2) Peraturan Presiden no. 107/2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta Bandung yang menyebutkan,
bahwa “Pelaksanaan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak menggunakan dana dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta tidak mendapatkan jaminan Pemerintah.”
[***]