Artikel ini ditulis oleh Nanang Djamaludin, pegiat di Klub Literasi Progresif (KLiP) Jaringan Anak Nasional (JARANAN).
Begitu dirinya diangkat sebagai Perdana Menteri, langsung saja Sutan Sjahrir meletakkan Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi jawatan tersendiri di bawah Perdana Menteri, sekaligus menetapkan 1 Juli sebagai Hari Bhayangkara, yang mana saat itu ke dalam tubuh kepolisian negara mulai diinjeksikan seperangkat falsafah hidup seorang anggota kepolisian negara. Juga kemudian dalam perkembangannya disuntikkan doktrin Tribrata yang harus dijunjung tinggi dan dijalankan segenap aparat kepolisian.
Sebelumnya, pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, sekitaran akhir bulan Agustus 1945, kaum Bumiputera yang sebelumnya menjadi pegawai pemerintahan pendudukan Jepang, tak terkecuali dari jajaran kepolisiannya, menyampaikan aspirasi kebulatan tekad untuk menjadi bagian dari pegawai pemerintahan republik Indonesia yang baru berdiri.
Sebulan setelahnya, di dalam sidang kabinet pertama tanggal 29 September 1945, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, dikukuhkan sebagai Kepala Kepolisian Negara dengan tugas “Membentuk Polisi Nasional” dengan penekanan pada tiga tujuan yang menjadi pegangan, yakni: a) struktur polisi negara, yang harus berbeda dengan Hindia-Belanda; b) watak polisi negara, yang mana harus diusahakan secara intensif perubahan watak polisi dari watak kolonial menjadi berwatak nasional; c) falsafah hidup polisi negara dalam cakupan falsafah negara Pancasila.
Kemudian, jika pada awalnya Kepolisian Negara, diletakkan di bawah Departemen Dalam Negeri maka melalui Penetapan Pemerintah Nomor 11/SD 25 Juni 1946, Kepolisian Negara ditempatkan sebagai Jawatan tersendiri yang langsung berada di bawah Perdana Menteri Syahrir saat itu. Penetapan itu mulai berlaku pada 1 Juli 1946.
Langkah ini untuk sebagian lantaran disebabkan adanya persaingan-persaingan yang telah lama ada diantara polisi dan pangreh praja biasa. Diketahui, di masa kolonial Belanda polisi diletakkan di bawah pangreh praja. Namun di masa pendudukan Jepang, polisi memperoleh otonomi yang lebih banyak dibanding masa kolonial Belanda.
Pada 1 Juli 1946 itulah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Bhayangkara, sekaligus diterapkannya falsafah hidup Polisi Negara dan Tribrata. Dan melalui Penetapan Presiden itulah struktur polisi negara memperoleh sandaran politis yang lebih kokoh.
Seiring dengan kesadaran pemerintah saat itu terhadap pentingnya pembentukan watak kepolisian nasional yang mampu mengoreksi watak kolonial sebelumnya, sekaligus dalam rangka peningkatan taraf ilmu dan keterampilan aparatus kepolisian nasional itu sendiri maka dibentuklah sekolah pendidikan polisi. Sekolah polisi yang telah ada di era sebelumnya dan terletak di Sukabumi dipindahkan ke Metroyudan dekat Magelang. Perdana Menteri Sutan Syahrir hadir dan memberikan pidatonya dihadapan para Taruna Polisi yang hadir di acara Paresmian Sekolah Tinggi Polisi pada Tanggal 1 Juli 1946. Kepala Kepolisian Negara Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, dan Menteri Sosial Maria Ulfa Santoso juga turut hadir di acara tersebut.
Saat itu bayi Republik Indonesia sedang tergopoh-gopoh merangkak. Jaman memanglah amat sulit. Apalagi ancaman nyata kedaulatan negara dari Belanda dan sekutu yang hendak kembali menguasai Indonesia benar-benar sedang berlangsung di depan mata. Namun saat itu polisi mampu bekerja bagus dan tanpa pamrih, tidak berpolitik praktis seperti masa kini sebagaimana banyak diteropong oleh banyak pihak.
Tahukah Anda, seragam awal anggota Kepolisian Negara di jaman Sutan Sjahrir itu selain berasal dari sisa-sisa peninggalan dan pampasan kepolisian Jepang, juga berasal dari seragam awal yang dibuat sendiri dari tenunan serat nanas yang tipis dan jarang-jarang, mungkin mirip serokan encuk (jentik nyamuk), yang lalu diolah dengan cara memasaknya menggunakan kulit pohon dicampur sedikit lumpur agar berwarna coklat. Namun meski seperti itu, saat itu mereka mampu bekerja profesional, ikhlas mengabdi, tidak berpolitik, abdi utama masyarakat, warga negara teladan dari masyarakat, dan tentu saja mereka tanpa rekening gendut, tanpa rekening bagong!
Selamat Hari Bhayangkara, 1 Juli, wahai Kepolisian Republik Indonesia. Kami rakyat Nusantara rindu jati dirimu yang murni sebagaimana awal kamu dilahirkan dulu saat republik masih merangkak!
Salam Rakyat Nusantara.
[***]