PEMERINTAH Indonesia masih berlarut-larut ingin menegakkan Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Yakni agar Kontrak Karya Freeport yang dibuat pada tahun 1991. Salah satunya adalah ketentuan tentang divestasi.
Namun disayangkan proses renegosiasi ini berjalan dengan elitis, tidak mengikutsertakan kelompok masyarakat yang terdampak di Freeport. Sebagaimana telah dituntut oleh masyarakat Papua yang terdampak negatif oleh pertambangan PT.Freeport Indonesia. Masyarakat Adat Independen dari Papua dalam pernyataannya menyatakan pemerintah Indonesia sebaiknya menghentikan dulu kegiatan tambang PT. Freeport Indonesia lalu melakukan evaluasi menyeluruh.
Kegiatan penambangan PT.Freeport Indonesia telah mengepung dan mempersempit ruang hidup masyarakat Papua yang berada di sekitar wilayah tambang emas terbesar di dunia tersebut.
Kegiatan penambangan di atas ketinggian 4.000 meter diatas sumber air Aghawagon-Otomona-Ajkwa telah menimbulkan gangguan bagi masyarakat di bagian bawah penambangan. Dari 1.3 milyar metrik ton bijih tembanga yang digali antara tahun 1987-2014, hanya 1-1.5% mineral yang dianggap bernilai, selebihnya sebanyak 97% dibuang ke sistem air Ajkwa.
Akibat kegiatan penambangan Freeport Indonesia antara tahun 1987 2014, seluas 138 km2 hutan, mangrove and lahan pertanian telah kehilangan vegetasi.
Pembuangan limbah tambah lebih dari 120.000 ton per hari ke Sungai Ajkwa telah membuat daerah muara sungai dan pesisir mengalami timbunan logam berat. Tumpukan material halus tersuspensi telah meningkat empat kali lipat hingga ke 10 km Laut Arafura.
Sejak tahun 1998, kosentrasi material tersuspensi yang mengandung logam berat ini lebih dari 40 g/m3, tingkat konsentrasi yang secara langsung mematikan tumbuhan air dan mempengaruhi siklus reproduksi binantang tak bertulang belakang dan ikan. Aturan pemerintah Australia bagi konsentasi material tersuspensi di sungai dataran rendah dan bagian kuala dan muara adalah 20 g/m3 untuk mempertahankan kehidupan perairan yang sehat.
Mengingat dampak lingkungan yang telah terjadi secara intensif dan luas ini, maka saatnya kegiatan penambangan PT.Freeport Indonesia ditinjau ulang. Moratorium produksi untuk memulihkan daya dukung alam menjadi penting. Dan sebelum mengambil alih saham PT.Freeport Indonesia, pemerintah Indonesia sebaiknya memperjelas pertanggungjawaban PT. Freeport Indonesia atas kerusakan lingkungan dan dampaknya yang telah terjadi sejak tambang ini beoperasi hingga kini.
Semua data kuantitatif dalam siaran pers ini mengacu pada hasil penelitian Michael Alonzo yang telah dipublikasikan di jurnal Nature, 11 Oktober 2016.
Oleh Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER)