Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
SUATU hari Solichin Salam, penulis biografi “Sukarno Putra Sang Fajar” bertanya kepada Bung Hatta, benarkah seorang politisi adalah seorang karakter-loos, karena dunia politik dianggap cenderung pragmatis dan sering kontradiktif, sehingga kerap terjadi tidak satunya kata dengan perbuatan, yang menimbulkan kebohongan.
Mendengar pertanyaan ini dengan serius Bung Hatta menjawab bahwa anggapan seperti itu tidaklah benar. Seorang politisi yang karakter-loos (tidak punya karakter) berarti tidak mempunyai pendirian, sehingga dengan demikian tidak pantas menjadi pemimpin.
Sebagai tokoh pergerakan kemerdekaan Bung Hatta sendiri adalah role model keteladanan, yang menyatukan kata dengan perbuatan dalam setiap keputusan yang diambilnya.
Di tahun 1920-an kalau berkunjung ke Paris, Bung Hatta sering mampir di tempat Arnold Mononutu, salah seorang pengurus Perhimpunan Indonesia.
Suatu hari Bung Hatta yang datang dari Den Haag, Belanda, ingin mengetik surat untuk seorang teman. Kepada Arnold Mononutu ia bermaksud meminjam mesin tik yang biasa dipakai.
Tapi tak seperti biasa Arnold tiba-tiba terlihat seperti pura-pura sibuk mencari-cari mesin tik. Bung Hatta yang menunggu sambil memperhatikan akhirnya berkata: “Akh, Arnold, mesin tik toh bukan barang kecil. Masa’ kau cari-cari seperti itu.”.
Arnold yang merasa kikuk mendengar perkataan Bung Hatta dan takut untuk berbohong akhirnya terpaksa mengaku bahwa mesin tik yang merupakan inventaris Perhimpunan Indonesia itu sudah digadaikan, dan uangnya dipakai untuk foya-foya.
Mendengar ini Bung Hatta menjadi sangat marah dan berkata: “Itu milik organisasi untuk perjuangan nasional, berani kau ganggu! Itu sama sekali tidak baik!” tegas Bung Hatta.
Sekelumit kisah ini menggambarkan bagaimana para tokoh pada masa itu, meskipun berkaitan dengan perkara-perkara kecil, umumnya memiliki integritas, yaitu karakter terpuji untuk tidak berbohong, berani berkata jujur, dan mengakui kesalahan.
Di dalam mindset mereka tertanam bahwa dengan berkata jujur pada dasarnya seseorang mendapatkan dua hal, yaitu: kepercayaan dan respect (rasa hormat).
Namun watak para penguasa negeri ini hari ini ternyata berciri karakter-loos, salah satu yang menonjol ialah berani berbohong nggak tahu malu, sehingga sulit dipercaya dan kehilangan rasa hormat dari mayoritas rakyat.
Mengutip penggambaran yang diberikan oleh tokoh nasional Dr Rizal Ramli, melalui akun Twitter-nya beberapa waktu lalu:
“Tatakelola rezim hari ini berciri infantil disorder, yaitu mengidap semacam gangguan kejiwaan kolektif, di mana realitas persoalan yang terjadi dan dialami langsung oleh rakyat ditutup-tutupi secara kekanak-kanakan, antara lain melalui buzzersRp.”.
Revolusi Mental, Nawacita, pidato menolak impor dan program-program serta janji-janji memihak kepada kepentingan mayoritas rakyat ternyata hanya rangkaian perkibulan yang sambung-menyambung.
Salah satunya program mobil Esemka yang berisi harapan palsu seolah-olah negeri ini bakal punya mobil nasional, seperti Malaysia dan Vietnam, ternyata Esemka adalah mobil impor dari China.
Rizal Ramli menegaskan, kebohongan yang dilakukan oleh Jokowi tak ada habis-habisnya.
Akibatnya bangsa ini kini kian masuk ke dalam gigitan naga oligarki, lantaran berbagai kebohongan dan mentalitas budak elite kekuasaannya sendiri, yang berkuasa seperti raksasa berkaki lempung, dan seperti peribahasa Belanda, praat als een kip zonder kop, berbicara seperti ayam tanpa kepala.
Apa sebab orang melakukan kebohongan?
Ternyata antara lain karena memiliki harga diri yang rendah, dan merasa harus membuktikan diri lebih baik dari orang lain.
Dalam ilmu jiwa dikenal pula istilah pembohong patologis. Pembohong jenis ini digambarkan sering bertindak dengan cara menipu tanpa memperhatikan hak dan perasaan orang lain.
Ciri-cirinya antara lain biasa mengubah-ubah cerita kalau ditanya tentang rincian tertentu.
Kebohongan mereka bertentangan dengan yang mereka katakan sebelumnya. Mereka tidak peduli meskipun ada yang tertipu, karena mereka hidup di dalam dunianya sendiri. Dunia kebohongan.
[***]