KedaiPena.Com – Hampir satu tahun terakhir ini, keberadaan ribuan sekolah negeri maupun swasta di seluruh Indonesia bagaikan pabrik-pabrik tua kosong yang dihuni setan akibat Pandemi Covid19. Sementara itu berjuta keluarga di Indonesia kini sedang terus mengadaptasi fungsi otentiknya, yang lama ditinggalkan, yakni menjadi persekolahan (schoolling) bagi anak-anaknya.
Situasi dan kondisi ini mengonfirmasi, sesungguhnya sedang dan terus berlangsung proses perubahan senyap yang amat revolusioner di dunia pendidikan saat ini. Rumah-rumah jutaan keluarga Indonesia mendadak dan serempak menjadi satuan pendidikan yang menyelengarakan proses pendidikan. Sementara sekolah yang sejak lama oleh pemerintah dilabeli sebagai satuan pendidikan justru kosong melompong laksana kuburan.
Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nasional (JARANAN), Nanang Djamaluddi menyampaikan telaahnya itu kepada KedaiPena.Com usai acara Dialog Nasional Webinar bertema Revolusi Pendidikan Pancasila di Jakarta, belum lama ini (14/1/2021).
Memudarnya peran sekolah di masyarakat, dan dalam derajat tertentu mulai teraktivasinya kembali peran keluarga ke dalam fungsi pendidikan terhadap anak-anaknya itu, dilihat Nanang sebagai fenomena deschooling.
Deshooling merupakan istilah yang dikenalkan Ivan Illich, seorang pemikir pendidikan Meksiko yang pernah berkunjung ke pesantren di Jawa dan menyaksikan praktik deschooling di pedesaan-pedesaan.
Lewat deschooling itu, lanjut Nanang, monopoli pendidikan formal oleh sekolah berada dalam potensi menuju proses melenyap. Namun di sisi lain, berlangsung pula aktivasi lembaga-lembaga nonformal dan informal, terutama keluarga, untuk memulihkan dan mengaktivasi kembali fungsi sejatinya sebagai unit pendidikan paling otentik dalam mengemban kerja-kerja pendidikan dan kebudayaan.
“Fenomena deschooling yang kini sedang berlangsung mengkonfirmasi bahwa kita sangatlah bisa hidup tanpa sekolah, namun kita tidak mungkin hidup tanpa keluarga. Sehingga beragam wawasan, keterampilan dan praktik baik dalam mendidik anak di rumah menjadi hal-hal yang teramat penting dan mendesak untuk terus diasah dan ditingkatkan,” serunya.
Dalam konteks pendidikan, Nanang yang juga konsultan keayahbundaan dan perlindungan anak itu, membedakan antara konsep “schooling” dan “learning” (pembelajaran). Namun dalam pengamatannya, terlihat secara mencolok bahwa setiap pemerintahan yang ada, baik di masa Orba, pasca reformasi hingga saat ini, lebih memandang pendidikan sekedar sebagai schooling ketimbang learning.
Dari sikap pemerintah seperti itu lalu menerbitkan dan mengokohkan paham dan praktik “schoolism”. Di mana persekolahan yang dijalankan secara teknokratis dan beorientasi penyeragaman oleh Pemerintah, tetapi juga menanggalkan kepekaan terhadap keunikan dan kepentingan anak-anak peserta didik sebagai warga pembelajar yang punya beragam minat, bakat dan aspirasinya.
“Lewat sekolah, yang awalnya merupakan produk kolonialisme, terjadilah penyempitan akses pendidikan, dimana pendidikan menjadi barang langka justru ketika belajar diartikan dan diyakini hanya akan efektif melalui sekolah.
Padahal tujuan pendidikan sejati dan universal tidak bakal bisa diwujudkan melalui sistem persekolahan yang sebenarnya sempit, apalagi bertabiat hegemonik seperti yang terjadi sslama itu,” tukasnya.
Ambyarnya lagi, proses itu berlangsung seiring pereduksian yang sempurna atas fungsi keluarga sebagai unit edukatif menjadi sekedar unit konsumtif, termasuk dalam hal mengkonsumsi pendidikan.
“Itulah yang bisa menjelaskan, mengapa dalam waktu yang panjang, kecenderungan massal keluarga di negeri kita untuk lebih memilih mensubkontrakkan pendidikan anak-anaknya kepada sistim persekolahan yang didesain perintah. Sementara fungsi pendidikan yang sejatinya melekat di dalam keluarga tercerabut kehilangan daya aktualnya,” jelasnya.
Menjadi amat urgen dan penting, cetus Nanang, untuk memotong segala belenggu-belenggu kebijakan atas model persekolahan yang telah lama menjafi zumud dan dekaden seperti itu.
Caranya dengan segera membuka sumberdaya-sumberdaya pendidikan yang sesungguhnya sedemikian luas, yang berada di luar sistim sekolah. Meliputi segenap alam raya. Utamanya tentu saha keluarga sebagai sumberdaya pendidikan paling sebermula, pondasionil, sekaligus sepanjang hayat. Dengan begitu, pendidikan pun benar-benar bisa terbukti menjadi mungkin bagi tiap orang.
“Bagi tiap manusia, belajar adalah hak, mengingat belajar itu sendiri sudah inheren ada di setiap diri manusia seiring kehadirannya di muka bumi. Sementara belajar ke sekolah
haruslah sekedar sebuah opsi saja, bukan kewajiban,” ingatnya.
Ditambahkannya, kini dengan terbuktinya sekolah berada dalam proses memudar, bahkan menuju pelenyapan, apalagi saat berhadapan dengan era digital dan Pandeni global, sudah semestinya segenap keluarga di Indonesia, sebagai satuan pendidikan paling otentik dan otonom, bahu-membahu segera merebut kembali pemaknaan atas konsep dan kerja-kerja pendidikan.
Hal ini dalam rangka untuk terlibat, mengawal dan memastikan perkembangan anak-anak bangsa yang jauh lebih otentik dan progresif lagi lewat agenda deschooling.
Dengan memudarnya peran sekolah sebagai satuan pendidikan, maka anggaran raksasa triliun rupiah sektor pendidikan dalam APBN tahun ini dan tahun-tahun ke depan, yang diperuntukkan untuk penyelengaraan sekolah-sekolah secara nasional dan yang diluar gaji guru, seharusnya didistribusikan secara merata kepada satuan-satuan pendidikan paling otentik, yakn segenap keluarga, yang kini sedang dan terus mempraktekkan kerja-kerja pendidikan dan kebudayaan di tengah kelumpuhan model persekolahan yang teknokratis dan zumud itu.
“Pendistribusian anggaran tu sangat pantas dan sudah selayaknya didistribusikan untuk menstimulus peningkatan dan penguatan kapasitas keluarga di Indonesia dalam menjalani proses pendidikan dan pembelajaran bagi anak-anaknya di rumah. Lagi pula itu memang aslinya uang rakyat, bukan uang miklk oligarki,” pungkas Nanang.
Laporan: Muhammad Lutfi