PADA Tanggal 29 Maret sampai 30 Maret 2017, Panja Pansus RUU Terorisme (Panja) kembali melakukan Pembahasan RUU. Berdasarkan monitoring Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), sampai dengan Tanggal 30 Maret 2017, pembahasan yang dilakukan terbuka di Hotel Aryaduta Jakarta telah sampai dengan DIM No 60  (Pasal 25 ayat (2) RUU). Beberapa hasil pembahasan dalam rapat Panja diatas adalah yang menjadi concern ICJR yakni:
Pertama, Pasal Penghasutan Untuk Terorisme. Pasal ini masuk dalam RUU dalam pasal 13A (DIM No 49). Pasal 13A menyatakan Setiap Orang yang dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan yang dapat mendorong perbuatan atau tindakan Kekerasan atau anarkisme atau tindakan yang merugikan individu atau kelompok tertentu dan/atau merendahkan harkat dan martabat atau mengintimidasi individu atau kelompok tertentu yang mengakibatkan Tindak Pidana Terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
Menurut ICJR Rumusan Pasal 13A dari pemerintah ini tidak jelas dan rancu, apabila yang dimaksudkan adalah untuk menggerakkan orang melakukan tindak pidana terorisme maka sudah diatur dalam pasal lain. Namun, apabila maksudnya adalah semua perbuatan sebagaimana disebutkan dalam pasal seperti “ucapan, perbuatan tingkah laku atau tampilan yang mengakibatkan tindak pidana terorisme, maka pengaturannya menjadi multi purpose act. sebab, pasal ini menjadi bebas ditafsirkan. ICJR mendorong agar ketentuan ini diperhatikan secara serius agar tidak menjadi masalah baru. ICJR menyadari keinginan perumus untuk membatasi kebebasan berekspresi dalam hal penghasutan untuk melakukan tindakan terorisme, seperti dalam pidato, ceramah ataupun ucapan dan ekspresi lain yang menghasut, menganjurkan atau membenarkan perbuatan terorisme. Sehingga lebih baik pasal ini diselaraskan dengan pasal penganjuran dalam Pasal 55 KUHP. Untuk penghasutan maka dapat dilihat Pasal 160 KUHP.
Rapat Panja akhirnya menyetujui keberadaan Pasal ini, dengan catatan pemerintah akan merumuskan dan disertai penjelasan mengenai frase “ ucapan, sikap, perilaku, tulisan, dan tampilan. Hasil Panja juga mendorong alternative pasal agar pasal ini tidak menjadi terlalu memberikan penafsiran yang luas.
Kedua, mengenai Tindak Pidana Menggerakkan Terorisme, yang dirumuskan dalam Pasal 14 (DIM 50-51) pasal tersebut menyatakan bahwa; setiap orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal12A, dan Pasal 12B, dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 14 ini disetujui Panja untuk dirumuskan ulang oleh Pemerintah dan dengan catatan: Perlu ada yang lebih spesifik dari kata “menggerakkanâ€; Perlu dijelaskan yang dimaksud dengan “sengaja menggerakkanâ€; Penambahan ayat dua pada Pasal ini untuk memasukkan “penggerakan yang gagal†dan perlu disalin rekat dari Pasal 163 bis KUHP (Pasal 292 RKUHP); dan Ancaman pemidanaan disesuaikan dengan RKUHP.
Ketiga, Mengenai permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme. Ketentuan ini dirumuskan dalam Pasal 15 (DIM 52-53) pasal tersebut menyatakan bahwa Pasal 15 (1) Setiap Orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, dan Pasal 12B, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya. (2) Permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan yang dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila ada niat atau kesengajaan itu telah ternyata dari adanya persiapan perbuatan.
Hasil pembahasan menyetujui Pasal 15 ayat (1) sedangkan Pasal 15 ayat (2) dihapus. Pasal 15 ayat (1) sesuai dengan rumusan alternatif dari Pemerintah, yaitu menjadi: Dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, dan Pasal 13A, dipidana sesuai dengan pidana pokoknya. Dengan catatan: a Memasukkan defini atau pegertian dari “persiapan†dalam penjelasan pasal yang diambil dari RKUHP; dan Ancaman pidana disesuaikan dengan RKUHP. Menurut ICJR harmonisasi pasal ini dengan R KUHP akan memperjelas muatan dari pengertian mengenai memasukkan pasal pasal pidana persiapan terorisme dalam RUU terorisme akan memperkuat penegakan hukum.
Keempat, terkait Pasal Pidana bagi orang yang melibatkan Anak dalam Terorisme. Ketentuan ini dirumuskan dalam Pasal 16 A (DIM 56-57). Pasal 16A menyatakan bahwa (1) Dalam hal Tindak Pidana Terorisme dilakukan oleh anak, pidana yang dijatuhkan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak (2) Dalam hal pelaku Tindak Pidana Terorisme melibatkan anak, pidana yang dijatuhkan ditambah ½ (setengah) dari pidana yang diancamkan.
Terkait hal ini ICJR sedari awal mendorong agar anak yang terkait terorisme merupakan “anak korban†karena mereka adalah bagian dari korban Jaringan kejahatan terorisme, dan terhadap anak-anak ini ICJR mendorong agara tidak dipidana penjara. ICJR mendorong Hakim memerintahkan anak menjalankan progam rehabilitasi dan deradikalisasi.
Hasil pembahasan Panja menyatakan pasal ini disetujui dengan catatan yakni terhadap Pasal 16A ayat (1) Pada disetujui bahwa ayat ini masuk dalam penjelasan Pasal 16A, dan diberikan catatan khusus harus ada pengaturan mengenai korban anak. sedangkan Pasal 16A ayat (2) disetujui rumusan alternatif baru dari Pemerintah, yaitu: Setiap orang yang melakukan Tindak Pidana Terorisme dengan melibatkan anak, ancaman pidananya ditambah 1/3. ICJR merespon baik perubahan rumusan dalam pasal ini dan mendorong agar revisi dan catatan juga segaris dengan UU sistem Peradilan Pidana Anak
ICJR sepakat dengan beberapa usulan revisi penambahan penjelasan bagi beberapa Pasal diatas Namun ICJR tetap mendorong dan mengingatkan pemerintah dan DPR  bahwa pembahasan RUU terorisme harus secara konsisten memasukkan prinsip-prinisp HAM dalam pembahasan panja. Prinisp HAM harus menjadi parameter dan landasan krusial dalam pembahasan pasal-pasal RUU terorisme. Karena dalam pembahasan selanjutnya Panja dan pemerintah  akan membahas terkait pasal-pasal upaya paksa terkait penangkapan, penahanan yang menurut ICJR merupakan pasal-pasal yang paling bermasalah.
Oleh Institute for Criminal Justice Reform, Supriyadi Widodo Eddyono
Direktur Eksekutif